Jumat, 24 Mei 2013

Filsafat

Konsep Tuhan menurut Ibnu Sina
Pendahuluan


Allah SWT merupakan eksistensi yang absolut diantara eksistensi yang nisbi, semua konsep tuhan telah tertera dalam al-qur’an dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat. Namun perkembangan, pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan intelektual Islam yang aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra muslim khususnya filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi pandangan filosof Yunani terutama gagasan Aristoteles terhadap tuhan yang abstrak telah di tolelir oleh beberapa filosof muslim seperti Ibnu Sina bahwasannya alam dan realitasnya merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam dzat dan sifat.
Sebetulnya, atas dasar apakah Ibnu Sina memfilter konsep Tuhan menurut Aristoteles yang kemudian ia modifikasi dalam Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Serta bagaimanakan pertanyaan serta jawaban sebenarnya yang di uraikan oleh para ulama khususnya Ghozali terhadap pemikirannya? Oleh sebab itu pada pembahasan ini kami akan menguraikan secara ringkas tentang biografi Ibnu Sina serta pandaannya terhadap konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani khususnya Aristoteles serta kritikan ulama dan Ghazali yang menentang keras konsep ketuhanannya.
Semoga dengan pembahasan ini kita dapat mengambil konklusi yang bersifat afektif dalam mengkaji pemikiran filosof Islam terhadap konsep tuhan.
Biografi Ibnu Sina


Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara .
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang filosofi dan pengobatan. Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al -Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (ÇÈæÚáì ÓíäÇ Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : ÃÈæ Úáí ÇáÍÓíä Èä ÚÈÏ Çááå Èä ÓíäÇ ). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai bapak kedokteran disamping itu ia telah mengarang buku Al-Qanun fi At Tibb yang di terjemahkan kebahasa latin dan di cetak di Eropa pada tahun 1593, kemudian buku tersebut di jadikan mata kuliah pokok di universitas-universitas Eropa.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah – masalah metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang membingungkan, dia akan meninggalkan buku – bukunya, mengambil air wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan, dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata – katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi, yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dia mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan. Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18 tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai merawat para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai." Kemasyhuran sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien tanpa meminta bayaran.
Disamping itu pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika Ibnu Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat – bakatnya. Shams al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung, dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri dimana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi.
Sebetulnya, amsih banyak riwayat Ibnu Sina yang begitu cemerlang namun ajal telah menjemput beliau, pada tahun 1037 M di Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika sedang mengajar di sebuah sekolah.Filsafat Wujud.

Daftar PustakaBooks: Delmar, New York 1976).
Aburoyan, Dr. Muhammad ‘Ali, Tarikhul Fikri al-Falsafi , (Darul Ma’rifah, Iskandar 1983).
Avicenna, Kitab al-shifa’, Metaphysics II , (eds.) G. C. Anawati, Ibrahim Madkour, Sa’id Zayed (Cairo, 1975).
Gawsharin, S.S, Hujjat al-haqq Abu ‘Ali Sina, (Teheran:1331).
Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Beirut:1927)
Ghoicon, A.M, La Philosophie d”Avicenne et son influence en Europe medivale.
Hamdi.Z, Muhammad, Al-Manhaj al-Falsafi baina al-Ghazali wa Decartes, (Darul al-Ma’arif: Kairo, 1997)
Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995).
Ibn Sina, Abu `Ali al-Husayn ibn `Abd Allah, al-Isharat wa-al-Tanbihat . Ed. Nasir al-Din al-Tusi dan Qutb al-Din al-Razi, 3 volume, (Tehran 1377-1379).
Ibnu Sina, Al-Najah , ed. M. Fakhri, (Beirut, 1985).
Nader El-Bizri, "Avicenna and Essentialism," Review of Metaphysics , Vol. 54 (2001).
Nasr, Sayyed Hossein, Tiga Mazdhab Utama Filsafat Islam , IRCiSoD, (Yogyakarta, Maret 2006).

Filsafat

Pengaruh Ilmu dan Akhlaq
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Al-Kahfi 65
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. Thaha 110
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Al-Mujaadilah 11
Sebetulnya kalau kita mengamati ayat diatas ada dua persepsi yang kita tela’ah , yaitu :
Sebetulnya siapakah orang yang berilmu di zaman ini ?Dan siapakah orang arif dan beriman yang mendapatkan rahmat –Nya melalu ilmu ?”.Teman realita memekakkan yang sedang melanda dunia ini yaitu krisis akhlaq sehingga sering kali kita tertipu dalam membedakan orang yang berilmu atau tidak.Pada hakekatnya ilmuwan dan orang yang berilmu merupakan individu yang mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga daya ingat dan kemampuan berfikirnya begitu sistematis dan progressif. Namun dibalik kecerdasannya terkadang ada racun yang menjalar disetiap pikirannya dan tingkah lakunya yang bersifat empati.Oleh sebab itu kita harus selalu waspada, karena tidak semua orang yang berilmu itu berakhlaq.
Sedangkan seseorang yang arif adalah individu yang mempunyai sikap bijaksana.karena mereka berfikir dengan hati nurani bukan sebatas logika saja dan pikiran mereka merupakan implementasi(penerapan)dari syari’at Islam yang dieksplorasi serta dijadikan pijakan dengan berpedoman pada Qur’an dan Hadist. Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” Baqarah 32
Karena mereka mengakui dan merasakan bahwasannya segala ilmu sesungguhnya milik Allah dan harus diamalkan bukan untuk didzolimi. Seorang penyair mengatakan :
Disetiap perkataannya
Terpancar hikmah
Dan disetiap perilakunya
Terpancar sinar Illahi
Jadi sebetulnya, dalam pembentukan sumber daya manusia yang produktif harus mengintegrasikan antara ilmu dan akhlaq.
Ilmuwan tapi tersesat
Ini bukan protes tapi pernyataan diatas merupakan realita yang sedang kontroversi baik di suatu Negara atau dunia. Berapa puluh, politikus, anggota DPR & MPR dan pejabat-pejabat tinggi Negara maupun pemerintahan yang bertitel tinggi dan berpredikat akademis yang tidak bisa dipungkiri profesionalitasnya berakhir dengan korupsi ? Dan berapa pakar-pakar ilmuwan yang menciptakan teknologi serta mengembangkan teorinya berakhir dengan perusakan alam setitik demi setitik ataupun terkadang melanggar syari’at?.Mereka semuanya adalah kebanyakan almameter Universitas bertaraf Nasional dan Internasional.Tapi secara praktis eksistensi sebagian dari mereka kurang efisien dan efektif dalam mencetak generasi – generasi bangsa yang unggul dan bermental militan.OIeh sebab itu sudah seharusnya kita bentengi ilmu dengan akhlaq yang berorientasikan panda Qur’an dan Hadist, yang terdiri dari tiga aspek:
· Berilmu ilmiah
· Berakhlaq amaliyah
· Beraqidah Islam As-shohihah ( benar sesuai Qur’an dan Hadist )
Aspek tersebut sesuai dengan perintah Allah, yang menyatakan bahwa tidak sepantasnya semua orang muslim pergi ke medan perang tapi sebagaian lagi sebaiknya mendalami pengetahuan – pengetahuan sebagai tanda kebesaran Allah dan untuk memberi peringatan apabila terjadi peyelewengan dalam memahami makna ilmu agar kita tidak tersesat sesuai dengan firman Allah:
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(Taubat 122)
Al-Qur’an pedoman ilmu dan hidup
Sekarang kalau kita membicarakan politik, metafisika dan kosmologi semuanya tlah tertulis dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.Ath thaalaq 12
Ayat diatas menerangkan bahwa dalam menciptakan tujuh langit dan bumi Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi dan yang tlah berlalu dibumi ini baik sosial maupun alamiah.Karena hal tersebut merupakan kebijakan Allah terhadap umat-Nya dan ciptaan-NYa.
Oleh sebab itu kita harus mengaplikasikan dan mengembangkan pengetahuan yang kita dapatkan dalam Al-Qur’an, sehingga kita tidak bertolak fikiran dari syari’at. Dan sampai kapanpun Al-Qur’an tidak mengajarkan penyelewengan dalam suatu ilmu pengetahuan dan sosial melainkan menuntun kita menuju jalan yang benar yang mengutamakan kemaslahatan bukan keegoisan ataupun pendapat sepihak.Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dengan cara bermusyawarah, merupakan wadah untuk saling menukar fikiran dan pendapat dalam segala hal sehingga kesalahan ataupun kelalalaian yang menimbulkan pertentangan dan kerusakan-kerusakan dimuka bumi ini.Karena hakekat manusia hidup dan impian kita adalah menjalani kehidupan yang damai, aman dan sejahtera yang berupa sarana dan prasarana yang dihasilkan karena sumbangsi pemikiran para ilmuwan ataupun aturan-aturan serta norma-norma hidup yang dibentuk melalui instansi-instansi pemerintahan dan hukum.
Pengaruh hegemoni Barat terhadap ilmu
Hegemoni Barat terhadap ilmu sosial maupun alam merupakan masalah kontemporer yang kita hadapi dan harus kita selesaikan untuk menciptakan kehidupan yang dinamis dan damai.Sehingga kemajuan ilmu sebagai wahana untuk meningkatkan potensi serta intelektualitas kita yang merupakan rahmat Allah yang tak ternilai.Namun yang susah untuk ditepis, yaitu proses perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial dibarat yang melaju pesat semenjak abad 16-17 ketika zaman reinassance memberikan hak privasi bagi setiap individu untuk berkarya tanpa memedulikan agama.Karena ketika itu masyarakat meninggalkan dogma-dogma gereja yang dianggap telah menghalangi proses perkembangan ilmu.Hal ini dikarenakan bibel, perjanjian lama dan baru telah dikonstruksi oleh banyak tangan dan tidak menjanjikan perkembangan dalam ilmu.Beda dengan Islam, yang sangat menghargai ilmu pengetahuan dengan syarat tidak melanggar syari’at Islam.
Singkatnya, hegemoni ilmu pengetahuan dan sosial barat sampai detik ini perlu kita waspadai karena pada dasarnya mereka tidak mempunyai landasan benar terhadap ilmu dan ilmu yang tereksplorasi merupakan lahan untuk mencari jati diri dan potensi individu.Seperti perkembangan teknologi komunikasi dan invortement, menjadi lahan untuk mentransformasikan dunia impian serta khayalan wal akhir mengubah persepsi manusia bahwa dunia ini fana dan penuh dengan kesenangan seolah-olah kehidupan akherat tidak ada.Memang ilmu merupakan kunci utama dalam membuka cakrawala dunia namun ilmu tanpa akhlaq ibarat berjalan dengan obor tanpa cahaya pasti gelap dan menyesatkan, bisa jadi yang dicari bukan hakekat ilmu tapi popularitas dan kekayaan.

ILMU KALAM

(ANALISIS KRITIS)
v  
SEPULUH INTI  AJARAN YANG TERPENTING
1.      Aliran Khawarij. - Khalifah harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun boleh menjadi khalifah jika mampu memimpin dengan baik.
2.      Aliran Khawarij. - Orang Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
3.      Aliran Murji’ah. – Pengakan iman cukup hanya dalam hati.
4.      Aliran Murji’ah. - Orang islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
5.      Aliran Qadariyah. - Manusia di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan qada Tuhan.
6.      Aliran Jabariyah. – Perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
7.      Aliran Mu’tazilah. – Al Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
8.      Aliran Mu’tazilah. – Al-Amr bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar.
9.      Aliran Syiah. - Al Tauhid, Kaum Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat Allah.
10.  Aliran Syiah. - Al ma’ad, Ma’ad berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
v ANALISIS KRITIS
1.      Aliran Khawarij
Orang yang berdosa besar termasuk kafir, ini kurang masuk akal karena pada dasarnya Allah dapat mengampuni dosa-dosa hambanya yang mau bertaubat.
2.      Aliran Mur’jiah
pengakuan iman cukup hanya dalam hati, pendapat ini kurang sesuai dengan konteks iman yang sebenarnya.
3.      Aliran Jabariyah
manusia tidak dapat berbuat apa-apa (pasrah dengan kehendak Allah) , pendapat yang seperti ini saya kurang setuju, krena manusia pada hakikatnya di berikan akal dan pikiran, sehingga mereka bisa berbuat sesuatu yng mereka inginkan.
4.      Aliran Mu’tazilah
Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Saya sangat tidak setuju dengan pendapat ini, karena Tuhan itu dapat dilihat kelak di surga.
5.      Aliran Syiah
Imamah, paham ini menurut saya terlalu mengagung-agungkan Ali yang  beranggapan bahwa malaikat jibril salah menyampaikan wahyu yang harusnya diberikan kepada Ali namun diberikan kepada Nabi Muhammad . Padahal dalam Al-quran sudah banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kenabian Muhammad. Sedangkan  Ali hanya seorang sahabat Nabi saja.
v HIKMAH DAN PELAJARAN YANG BISA DI AMBIL
Dari pembelajaran ini kita bisa lebih paham dan menggerti tentang suatu ajaran yang di jalankan oleh seseorang terhadap kelompoknya. Sehingga dengan demikian kita bisa menganalisis dan menelaah dari setiap ajaran yang ada,
v KESIMPULAN
            Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor lahirnya pemikiran-pemikiran yang  hingga sekarang semuanya itu dapat kita jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Sekarang, bagaimana kita menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits. Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik, tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti. Penilaiaan baik tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan  yang berlaku dimasyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak di ikuti oleh Manusia.

MAZHAB ASY’ARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
            Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
MAZHAB ASY’ARIYAH
ASejarah Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di Baghdad tahun 935 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula berguru kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang tokoh Mu’tazilah. Sejak awalnya Asy’ari mengikuti paham Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan. Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah, keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Pada suatu ketika terjadi sesuatu yang sangat controversial. Al-Asy’ari membelot dan meninggalkan kemu’tazilahannya. Setelah merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun, menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Puncak pembelotan ini terjadi pada suatu saat ketika ia naik ke atas mimbar dan berpidato, “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar. Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[2]
 
BPokok-Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah antara lain adalah:
1.    Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya. Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan didalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat.
2.    Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianutnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.[3]
3.    Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat, Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya antara lain adalah firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
4.    Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
5.    Antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di ’Arsy, mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat di tentukan bagaimana (bila kaifa). Menurut al-asyari , Tuhan hidup dengan hayat, tapi hayat-Nya tidak sama dengan manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak sama dengan tangan manusia.
6.    Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut Mu’tazilah Tuhan wajib berbut adil, wajib memasukkan orang yang baik kedalam surga dan wajib memasukkan orang berdosa ke dalam nerak. Asy’ari mengatakan Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa historis kemunculan Mazhab Kalam Asy’ariyyah ini dimulai ketika Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan murid utama al-Jubbba’i dan salah satu analisator andalan Mu’tazillah di awal abad keempat hijriyah, menyatakan diri telah bertaubat dari Muktazilah dan “dakhala fi-‘l Islaam”. Ia kemudian menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullabiyyah. Dalam perjalanan selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam pengaruh Muktazilah atau Kullabiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti Al-Ibaanah dan Al-Maqaalaat, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan “Ahlus Sunnah Wal Hadits”. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini, muncullah sebuah aliran baru yang bernama “Asy’ariyyah”. Kemunculan Asy’ariyyah ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak serupa, yaitu “Maturidiyyah”, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. 1
ü  Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4
ü  Ahmad Amin, Zuhr al-islmi, jilid IV, t. p., Beirut, 1969, hal. 65.


[1] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. 1, Hal. 179
[2] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4, Hal. 122
[3] Ibid, Hal. 123-126

FIQIH MASHLAHAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari tentu sering kita mendapatkan manfaat dari hal yang kita lakukan atau kerjakan. Namun, kita belum tentu mengetahui apa yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan. Selain itu, banyak pula dari kita semua yang belum mengetahui apa saja macam-macam dari mashlahah. Oleh karena itu, makalah ini akan sedikit membahas mengenai mashlahah, sehingga para pembaca bisa mengetahui tentang mashlahah.
1.2    Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menjadi bahan pembelajaran khususnya mengenai Mashlahah. Dan diharapkan dari makalah ini baik penyusun maupun pembaca dapat mengetahui dan memahami Mashlahah.
BAB II
MASHLAHAH
2.1 Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam al-Ghazali, bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering didasarkan keapada kehendak hawa nafsu. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut Imam al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujua syara’ diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syathibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun akhirat, karena apabila keduanya bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep mashlahah. Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
2.2    Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.         Mashlahah al-Dharûriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal,(4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashâlih al-khamsah.
2.         Mashlahah al-Hâjiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
3.         Mashlahah  al-Tahsîniyyah (المصلحة التحسينية), yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dharûriyyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hâjiyyah, dan kemaslahatan hâjiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsîniyyah.
Dilihat dari segi kandungan mashlahah para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.         Mashlahah al-‘Ammah (المصلحة العامة), yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat.
2.         Mashlahah al-Khâshshah (المصلحة الخاصة), yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfûd).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushtafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.         Mashlahah al-Tsâbitah (المصلحة الثابتة), yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
2.         Mashlahah al-Mutaghayyirah (المصلحة المتغيرة), yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perbuatan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Perlunya pembagian ini, menurut Mushthafa al-Syalabi, di makasudkaan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.         Mashlahah al-Mu’tabarah (الصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalm hadits Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
2.         Mashlahah al-Mulghâh (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
3.         Mashlahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: (1) mashlahah al-gharîbah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun sacara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada dalam teoti. (2) mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
2.3    Kehujjahan Mashlahah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyâs. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulghâh dan mashlahah al-gharîbah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap kehujjahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Meghilangkan kemudaratan, bagaimana pun merupakan tujuan syaara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan demikian, ulama Hanafiyyah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang  didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.         Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.         Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.         Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan mashlahahsebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyâs. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya memabahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.         Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2.         Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3.         Mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hâjjiyah, apabila menyangut kepentingan orang banyak bisa menjadi dharûriyyah.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode mengistinbathkan hukum Islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.        Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
2.        Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.        Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti, Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.