Tersenyumlah
Wajah Rembulan
Rabu, 16 Oktober 2019
Jumat, 24 Mei 2013
Filsafat
Konsep Tuhan menurut Ibnu Sina
Pendahuluan
Allah SWT merupakan eksistensi yang absolut diantara
eksistensi yang nisbi, semua konsep tuhan telah tertera dalam al-qur’an
dari segi metafisik, alam dan asma’ serta sifat. Namun perkembangan,
pengaruh zaman dan peradaban Islam tidak menutup wawasan intelektual
Islam yang aktif dan produktif dalam mengintegrasikan ilmu-ilmu pra
muslim khususnya filsafat yang didasari atas konsep tuhan.
Tetapi pandangan filosof Yunani terutama gagasan
Aristoteles terhadap tuhan yang abstrak telah di tolelir oleh beberapa
filosof muslim seperti Ibnu Sina bahwasannya alam dan realitasnya
merupakan kehendak tuhan yang menyatu dalam dzat dan sifat.
Sebetulnya, atas dasar apakah Ibnu Sina memfilter
konsep Tuhan menurut Aristoteles yang kemudian ia modifikasi dalam
Islam? Dan benarkah pernyataan tersebut ? Serta bagaimanakan pertanyaan
serta jawaban sebenarnya yang di uraikan oleh para ulama khususnya
Ghozali terhadap pemikirannya? Oleh sebab itu pada pembahasan ini kami
akan menguraikan secara ringkas tentang biografi Ibnu Sina serta
pandaannya terhadap konsep tuhan yang di pengaruhi oleh filosof Yunani
khususnya Aristoteles serta kritikan ulama dan Ghazali yang menentang
keras konsep ketuhanannya.
Semoga dengan pembahasan ini kita dapat mengambil
konklusi yang bersifat afektif dalam mengkaji pemikiran filosof Islam
terhadap konsep tuhan.
Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah
ibunya Afshana, sebuah kota kecil sekarang wilayah Uzbekistan (bagian
dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari
Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah gubernur
suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh ibn Mansur, sekarang wilayah
Afghanistan (dan juga Persia). Dia menginginkan putranya dididik dengan
baik di Bukhara .
Ibnu Sina (980-1037) dikenal juga sebagai Avicenna di
Dunia Barat adalah seorang filsuf, ilmuwan, dan juga dokter kelahiran
Persia (sekarang sudah menjadi bagian Uzbekistan). Beliau juga seorang
penulis yang produktif dimana sebagian besar karyanya adalah tentang
filosofi dan pengobatan. Ibnu Sina bernama lengkap Abū ‘Alī al -Husayn bin ‘Abdullāh bin Sīnā (ÇÈæÚáì ÓíäÇ Abu Ali Sina atau dalam tulisan arab : ÃÈæ Úáí ÇáÍÓíä Èä ÚÈÏ Çááå Èä ÓíäÇ
). Dia adalah pengarang dari 450 buku pada beberapa pokok bahasan
besar. Banyak diantaranya memusatkan pada filosofi dan kedokteran. Dia
dianggap oleh banyak orang sebagai bapak kedokteran disamping itu ia
telah mengarang buku Al-Qanun fi At Tibb yang di terjemahkan
kebahasa latin dan di cetak di Eropa pada tahun 1593, kemudian buku
tersebut di jadikan mata kuliah pokok di universitas-universitas Eropa.
Ibnu Sina dididik dibawah tanggung jawab seorang
guru, dan kepandaiannya segera membuatnya menjadi kekaguman diantara
para tetangganya; dia menampilkan suatu pengecualian sikap intellectual
dan seorang anak yang luar biasa kepandaiannya / Child prodigy
yang telah menghafal Al-Quran pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli
puisi Persia. Dari seorang pedagan sayur dia mempelajari aritmatika, dan
dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang
memperoleh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar
anak muda.
Meskipun bermasalah besar pada masalah – masalah
metafisika dan pada beberapa tulisan Aristoteles. Sehingga, untuk satu
setengah tahun berikutnya, dia juga mempelajari filosofi, dimana dia
menghadapi banyak rintangan. pada beberapa penyelidikan yang
membingungkan, dia akan meninggalkan buku – bukunya, mengambil air
wudhu, lalu pergi ke masjid, dan terus sholat sampai hidayah
menyelesaikan kesulitan – kesulitannya. Pada larut malam dia akan
melanjutkan kegiatan belajarnya, menstimulasi perasaannya dengan
kadangkala segelas susu kambing, dan meskipun dalam mimpinya masalah
akan mengikutinya dan memberikan solusinya. Empat puluh kali, dikatakan,
dia membaca Metaphysics dari Aristoteles, sampai kata –
katanya tertulis dalam ingatannya; tetapi artinya tak dikenal, sampai
suatu hari mereka menemukan pencerahan, dari uraian singkat oleh Farabi,
yang dibelinya di suatu bookstall seharga tiga dirham. Dia
mempelajari kedokteran pada usia 16, dan tidak hanya belajar teori
kedokteran, tetapi melalui pelayanan pada orang sakit, melalui
perhitungannya sendiri, menemukan metode – metode baru dari perawatan.
Anak muda ini memperoleh predikat sebagai seorang fisikawan pada usia 18
tahun dan menemukan bahwa "Kedokteran tidaklah ilmu yang sulit ataupun
menjengkelkan, seperti matematika dan metafisika, sehingga saya cepat
memperoleh kemajuan; saya menjadi dokter yang sangat baik dan mulai
merawat para pasien, menggunakan obat – obat yang sesuai." Kemasyhuran
sang fisikawan muda menyebar dengan cepat, dan dia merawat banyak pasien
tanpa meminta bayaran.
Disamping itu pekerjaan pertamanya menjadi fisikawan
untuk emir, yang diobatinya dari suatu penyakit yang berbahaya. Majikan
Ibnu Sina memberinya hadiah atas hal tersebut dengan memberinya akses ke
perpustakaan raja Samanids, pendukung pendidikan dan ilmu. Ketika Ibnu
Sina berusia 22 tahun, ayahnya meninggal.Samanid dynasty menuju
keruntuhannya pada Desember 1004. Ibnu Sina menolak pemberian Mahmud of
Ghazni, dan menuju kearah Barat ke Urgench di Uzbekistan modern, dimana
vizier, dianggap sebagai teman seperguruan, memberinya gaji kecil
bulanan. Tetapi gajinya kecil, sehingga Ibnu Sina mengembara dari satu
tempat ke tempat lain melalui distrik Nishapur dan Merv ke perbatasan
Khorasan, mencari suatu opening untuk bakat – bakatnya. Shams
al-Ma’äli Qäbtis, sang dermawan pengatur Dailam, seorang penyair dan
sarjana, yang mana Ibn Sina mengharapkan menemukan tempat berlindung,
dimana sekitar tahun (1052) meninggal dibunuh oleh pasukannya yang
memberontak. Ibnu Sina sendiri pada saat itu terkena penyakit yang
sangat parah. Akhirnya, di Gorgan, dekat Laut Kaspi, Ibnu Sina bertamu
dengan seorang teman, yang membeli sebuah ruman didekat rumahnya sendiri
dimana Ibnu Sina belajar logika dan astronomi.
Sebetulnya, amsih banyak riwayat Ibnu Sina yang
begitu cemerlang namun ajal telah menjemput beliau, pada tahun 1037 M di
Hamadan, Iran, karena penyakit maag yang kronis. Beliau wafat ketika
sedang mengajar di sebuah sekolah.Filsafat Wujud.
Daftar PustakaBooks: Delmar, New York 1976).
Aburoyan, Dr. Muhammad ‘Ali, Tarikhul Fikri al-Falsafi , (Darul Ma’rifah, Iskandar 1983).
Avicenna, Kitab al-shifa’, Metaphysics II , (eds.) G. C. Anawati, Ibrahim Madkour, Sa’id Zayed (Cairo, 1975).
Gawsharin, S.S, Hujjat al-haqq Abu ‘Ali Sina, (Teheran:1331).
Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Beirut:1927)
Ghoicon, A.M, La Philosophie d”Avicenne et son influence en Europe medivale.
Harun Nasution, Islam Rasional ; Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan. 1995).
Ibn Sina, Abu `Ali al-Husayn ibn `Abd Allah, al-Isharat wa-al-Tanbihat . Ed. Nasir al-Din al-Tusi dan Qutb al-Din al-Razi, 3 volume, (Tehran 1377-1379).
Ibnu Sina, Al-Najah , ed. M. Fakhri, (Beirut, 1985).
Nader El-Bizri, "Avicenna and Essentialism," Review of Metaphysics , Vol. 54 (2001).
Nasr, Sayyed Hossein, Tiga Mazdhab Utama Filsafat Islam , IRCiSoD, (Yogyakarta, Maret 2006).
Filsafat
Pengaruh Ilmu dan Akhlaq
Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami. Al-Kahfi 65
Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya. Thaha 110
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Al-Mujaadilah 11
Sebetulnya kalau kita mengamati ayat diatas ada dua persepsi yang kita tela’ah , yaitu :
Sebetulnya
siapakah orang yang berilmu di zaman ini ?Dan siapakah orang arif dan
beriman yang mendapatkan rahmat –Nya melalu ilmu ?”.Teman realita memekakkan
yang sedang melanda dunia ini yaitu krisis akhlaq sehingga sering kali
kita tertipu dalam membedakan orang yang berilmu atau tidak.Pada
hakekatnya ilmuwan dan orang yang berilmu merupakan individu yang
mempunyai kecerdasan intelektual yang tinggi sehingga daya ingat dan
kemampuan berfikirnya begitu sistematis dan progressif. Namun dibalik
kecerdasannya terkadang ada racun yang menjalar disetiap pikirannya dan
tingkah lakunya yang bersifat empati.Oleh sebab itu kita harus selalu
waspada, karena tidak semua orang yang berilmu itu berakhlaq.
Sedangkan
seseorang yang arif adalah individu yang mempunyai sikap
bijaksana.karena mereka berfikir dengan hati nurani bukan sebatas logika
saja dan pikiran mereka merupakan implementasi(penerapan)dari syari’at
Islam yang dieksplorasi serta dijadikan pijakan dengan berpedoman pada
Qur’an dan Hadist.
Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” Baqarah 32
Karena mereka mengakui dan merasakan bahwasannya segala ilmu sesungguhnya milik Allah dan harus diamalkan bukan untuk didzolimi. Seorang penyair mengatakan :
Disetiap perkataannya
Terpancar hikmah
Dan disetiap perilakunya
Terpancar sinar Illahi
Jadi sebetulnya, dalam pembentukan sumber daya manusia yang produktif harus mengintegrasikan antara ilmu dan akhlaq.
Ilmuwan tapi tersesat
Ini bukan protes tapi pernyataan diatas merupakan realita
yang sedang kontroversi baik di suatu Negara atau dunia. Berapa puluh,
politikus, anggota DPR & MPR dan pejabat-pejabat tinggi Negara
maupun pemerintahan yang bertitel tinggi dan berpredikat akademis yang
tidak bisa dipungkiri profesionalitasnya berakhir dengan korupsi ? Dan
berapa pakar-pakar ilmuwan yang menciptakan teknologi serta mengembangkan teorinya berakhir dengan perusakan alam setitik demi setitik ataupun terkadang melanggar syari’at?.Mereka semuanya adalah kebanyakan almameter Universitas bertaraf Nasional dan Internasional.Tapi secara praktis eksistensi sebagian dari mereka kurang efisien dan efektif dalam
mencetak generasi – generasi bangsa yang unggul dan bermental
militan.OIeh sebab itu sudah seharusnya kita bentengi ilmu dengan akhlaq
yang berorientasikan panda Qur’an dan Hadist, yang terdiri dari tiga
aspek:
· Berilmu ilmiah
· Berakhlaq amaliyah
· Beraqidah Islam As-shohihah ( benar sesuai Qur’an dan Hadist )
Aspek
tersebut sesuai dengan perintah Allah, yang menyatakan bahwa tidak
sepantasnya semua orang muslim pergi ke medan perang tapi sebagaian lagi
sebaiknya mendalami pengetahuan – pengetahuan sebagai tanda kebesaran
Allah dan untuk memberi peringatan apabila terjadi peyelewengan dalam
memahami makna ilmu agar kita tidak tersesat sesuai dengan firman Allah:
”Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.(Taubat 122)
Al-Qur’an pedoman ilmu dan hidup
Sekarang kalau kita membicarakan politik, metafisika dan kosmologi semuanya tlah tertulis dalam Al-Qur’an, Allah berfirman : Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah
berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.Ath thaalaq 12
Ayat
diatas menerangkan bahwa dalam menciptakan tujuh langit dan bumi Allah
telah mengetahui apa yang akan terjadi dan yang tlah berlalu dibumi ini baik sosial maupun alamiah.Karena hal tersebut merupakan kebijakan Allah terhadap umat-Nya dan ciptaan-NYa.
Oleh
sebab itu kita harus mengaplikasikan dan mengembangkan pengetahuan yang
kita dapatkan dalam Al-Qur’an, sehingga kita tidak bertolak fikiran
dari syari’at. Dan sampai kapanpun Al-Qur’an tidak mengajarkan penyelewengan
dalam suatu ilmu pengetahuan dan sosial melainkan menuntun kita menuju
jalan yang benar yang mengutamakan kemaslahatan bukan keegoisan ataupun
pendapat sepihak.Seperti yang tertera dalam Al-Qur’an dalam
menyelesaikan permasalahan dengan cara bermusyawarah, merupakan wadah
untuk saling menukar fikiran dan pendapat dalam segala hal sehingga kesalahan
ataupun kelalalaian yang menimbulkan pertentangan dan
kerusakan-kerusakan dimuka bumi ini.Karena hakekat manusia hidup dan
impian kita adalah menjalani kehidupan yang damai, aman dan
sejahtera yang berupa sarana dan prasarana yang dihasilkan karena
sumbangsi pemikiran para ilmuwan ataupun aturan-aturan serta norma-norma
hidup yang dibentuk melalui instansi-instansi pemerintahan dan hukum.
Pengaruh hegemoni Barat terhadap ilmu
Hegemoni Barat terhadap ilmu sosial maupun alam merupakan masalah kontemporer
yang kita hadapi dan harus kita selesaikan untuk menciptakan kehidupan
yang dinamis dan damai.Sehingga kemajuan ilmu sebagai wahana untuk
meningkatkan potensi serta intelektualitas kita yang merupakan rahmat
Allah yang tak ternilai.Namun yang susah untuk ditepis, yaitu proses
perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial dibarat yang melaju pesat
semenjak abad 16-17 ketika zaman reinassance memberikan hak
privasi bagi setiap individu untuk berkarya tanpa memedulikan
agama.Karena ketika itu masyarakat meninggalkan dogma-dogma gereja yang
dianggap telah menghalangi proses perkembangan ilmu.Hal ini dikarenakan bibel,
perjanjian lama dan baru telah dikonstruksi oleh banyak tangan dan
tidak menjanjikan perkembangan dalam ilmu.Beda dengan Islam, yang sangat
menghargai ilmu pengetahuan dengan syarat tidak melanggar syari’at
Islam.
Singkatnya, hegemoni ilmu pengetahuan dan sosial barat sampai detik ini perlu kita waspadai karena pada dasarnya mereka tidak mempunyai landasan benar terhadap ilmu dan ilmu yang tereksplorasi
merupakan lahan untuk mencari jati diri dan potensi individu.Seperti
perkembangan teknologi komunikasi dan invortement, menjadi lahan untuk
mentransformasikan dunia impian serta khayalan wal akhir mengubah
persepsi manusia bahwa dunia ini fana dan penuh dengan kesenangan seolah-olah kehidupan akherat tidak ada.Memang ilmu merupakan kunci utama dalam membuka cakrawala dunia namun ilmu tanpa akhlaq ibarat berjalan dengan obor tanpa cahaya pasti gelap dan menyesatkan, bisa jadi yang dicari bukan hakekat ilmu tapi popularitas dan kekayaan.
ILMU KALAM
(ANALISIS KRITIS)
v
SEPULUH INTI AJARAN
YANG TERPENTING
1. Aliran Khawarij. - Khalifah
harus dipilih rakyat serta tidak harus dari keturunan Nabi Muhammad SAW dan
tidak mesti keturunan Quraisy. Jadi, seorang muslim dari golongan manapun boleh
menjadi khalifah jika mampu memimpin dengan baik.
2. Aliran Khawarij. - Orang
Islam yang melakukan Dosa besar adalah kafir; dan harus di bunuh.
3. Aliran Murji’ah. – Pengakan
iman cukup hanya dalam hati.
4. Aliran Murji’ah. - Orang
islam yang melakukan dosa besar tidak dihukumkan kafir. Muslim tersebut tetap
mukmin selama ia mengakui dua kalimat syahadat.
5. Aliran Qadariyah. - Manusia
di pandang mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan
bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar dan
qada Tuhan.
6. Aliran Jabariyah. – Perbuatan
manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
7. Aliran Mu’tazilah. – Al
Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
8. Aliran Mu’tazilah. – Al-Amr
bin Al-Ma’ruf wa An-Nahy’an Al-Munkar.
9. Aliran Syiah. - Al Tauhid, Kaum
Syi’ah mengimani sepenuhnya bahwa allah itu ada, Maha esa, tunggal, tempat
bergantung, segala makhluk, tidak beranak, tidak diperanakkan, dan tidak ada
seorang pun yang menyamainya. Dan juga mereka mempercayai adanya sifat-sifat
Allah.
10. Aliran Syiah. - Al ma’ad, Ma’ad
berarti tempat kembali (hari akhirat), kaum Syi’ah sangat percaya sepenuhnya
akan adanya hari akhirat, bahwa hari akhirat itu pasti terjadi.
v ANALISIS KRITIS
1. Aliran Khawarij
Orang yang berdosa besar termasuk kafir, ini kurang
masuk akal karena pada dasarnya Allah dapat mengampuni dosa-dosa hambanya yang
mau bertaubat.
2. Aliran Mur’jiah
pengakuan iman cukup hanya dalam hati, pendapat ini
kurang sesuai dengan konteks iman yang sebenarnya.
3. Aliran Jabariyah
manusia tidak dapat berbuat apa-apa (pasrah dengan
kehendak Allah) , pendapat yang seperti ini saya kurang setuju, krena manusia
pada hakikatnya di berikan akal dan pikiran, sehingga mereka bisa berbuat
sesuatu yng mereka inginkan.
4. Aliran Mu’tazilah
Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala. Saya
sangat tidak setuju dengan pendapat ini, karena Tuhan itu dapat dilihat kelak
di surga.
5. Aliran Syiah
Imamah, paham ini menurut saya terlalu
mengagung-agungkan Ali yang beranggapan
bahwa malaikat jibril salah menyampaikan wahyu yang harusnya diberikan kepada
Ali namun diberikan kepada Nabi Muhammad . Padahal dalam Al-quran sudah banyak
ayat-ayat yang menjelaskan tentang kenabian Muhammad. Sedangkan Ali hanya seorang sahabat Nabi saja.
v HIKMAH DAN PELAJARAN YANG BISA DI AMBIL
Dari
pembelajaran ini kita bisa lebih paham dan menggerti tentang suatu ajaran yang
di jalankan oleh seseorang terhadap kelompoknya. Sehingga dengan demikian kita bisa
menganalisis dan menelaah dari setiap ajaran yang ada,
v KESIMPULAN
Dari
uraian diatas, dapat kita pahami bahwa Islam telah hadir sebagai pelopor
lahirnya pemikiran-pemikiran yang hingga sekarang semuanya itu dapat kita
jumpai hampir di seluruh dunia. Hal ini juga dapat dijadikan alasan bahwa Islam
sebagi mana di jumpai dalam sejarah, bukanlah sesempit yang dipahami pada
umumnya, karena Islam dengan bersumber pada al-Quran dan As-Sunnah dapat
berhubungan dengan pertumbuhan masyarakat luas. Sekarang, bagaimana kita
menaggapi pemikiran-pemikiran tersebut yang kesemuanya memiliki titik
pertentangan dan persamaan masing-masing dan tentunya pendapat-pendapat mereka
memiliki argumentasi-argumentasi yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits.
Namun pendapat mana diantara pendapat-pendapat tersebut yang paling baik,
tidaklah bisa kita nilai sekarang. Kerana penilaian sesungguhnya ada pada sisi
Allah yang akan diberikanNya di akhirat nanti. Penilaiaan baik tidaknya suatu
pendapat dalam pandangan manusia mungkin di lakukan dengan mencoba
menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang
dalam sejarah. Disisi lain, kita juga bisa menilai baik tidaknya suatu pendapat
atau paham dengan mengaitkannya pada kenyataan yang berlaku dimasyarakat
dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia, dan juga pendapat tersebut banyak
di ikuti oleh Manusia.
MAZHAB ASY’ARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Setiap
mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan
bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan
dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh,
satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa
Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah
sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi,
kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam
menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan
demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu.
Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam
mengalami realita tersebut di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
MAZHAB
ASY’ARIYAH
ASejarah
Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam
teologi yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin
Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di
Baghdad tahun 935 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi yang bernama Abu
Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula berguru
kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang tokoh Mu’tazilah. Sejak awalnya Asy’ari
mengikuti paham Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak
diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan.
Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang
Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah,
keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa
tidak puas. Pada suatu ketika terjadi sesuatu yang sangat controversial.
Al-Asy’ari membelot dan meninggalkan kemu’tazilahannya. Setelah merenung selama
sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah. Peristiwa itu
terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun, menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Puncak
pembelotan ini terjadi pada suatu saat ketika ia naik ke atas mimbar dan
berpidato, “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan
oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama
kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar.
Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya
lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarluaskan
paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal
dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari sendiri sering disebut
pula Asy’ariyah.[2]
BPokok-Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah antara
lain adalah:
1. Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan
Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki
sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan
zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan
zat-Nya. Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana
disebutkan didalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu,
berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat.
2. Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim,
bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka
jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas
menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianutnya.
Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat
Mu’tazilah.[3]
3. Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat, Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya antara lain adalah firman
Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
4. Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah
adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk
mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan
daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak
dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
5. Antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di
’Arsy, mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat di tentukan
bagaimana (bila kaifa). Menurut al-asyari , Tuhan hidup dengan hayat, tapi
hayat-Nya tidak sama dengan manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak
sama dengan tangan manusia.
6. Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai
keadilan Tuhan. Menurut Mu’tazilah Tuhan wajib berbut adil, wajib memasukkan
orang yang baik kedalam surga dan wajib memasukkan orang berdosa ke dalam
nerak. Asy’ari mengatakan Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak
wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan
kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah
milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan
berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam
neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang
lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa historis kemunculan Mazhab Kalam Asy’ariyyah ini dimulai
ketika Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan murid utama al-Jubbba’i dan salah
satu analisator andalan Mu’tazillah di awal abad keempat hijriyah, menyatakan
diri telah bertaubat dari Muktazilah dan “dakhala fi-‘l Islaam”. Ia kemudian
menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan
paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullabiyyah. Dalam perjalanan
selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah
meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam
pengaruh Muktazilah atau Kullabiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti
Al-Ibaanah dan Al-Maqaalaat, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam
Ahmad bin Hanbal dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan
“Ahlus Sunnah Wal Hadits”. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini,
muncullah sebuah aliran baru yang bernama “Asy’ariyyah”. Kemunculan Asy’ariyyah
ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak
serupa, yaitu “Maturidiyyah”, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy.
DAFTAR PUSTAKA
ü Drs. H.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet.
1
ü Drs. H.M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.
4
ü Ahmad Amin,
Zuhr al-islmi, jilid IV, t. p., Beirut, 1969, hal. 65.
FIQIH MASHLAHAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari tentu sering kita mendapatkan manfaat dari
hal yang kita lakukan atau kerjakan. Namun, kita belum tentu mengetahui apa
yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan. Selain itu, banyak pula
dari kita semua yang belum mengetahui apa saja macam-macam dari mashlahah. Oleh
karena itu, makalah ini akan sedikit membahas mengenai mashlahah, sehingga para
pembaca bisa mengetahui tentang mashlahah.
1.2
Tujuan
Pembuatan Makalah
Adapun pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah Ushul Fiqh.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menjadi bahan pembelajaran khususnya mengenai
Mashlahah. Dan diharapkan dari makalah ini baik penyusun maupun pembaca dapat
mengetahui dan memahami Mashlahah.
BAB II
MASHLAHAH
2.1
Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, mashlahah
sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara
terminologi, menurut Imam al-Ghazali, bahwa pada prinsipnya mashlahah
adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.”
Imam al-Ghazali
memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’,
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering didasarkan
keapada kehendak hawa nafsu. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang
dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan
syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang
harus dipelihara tersebut, lanjut Imam al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujua syara’
diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak
segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan dengan ini, Imam
al-Syathibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara
kemaslahatan dunia maupun akhirat, karena apabila keduanya bertujuan untuk
memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep mashlahah.
Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang
hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
2.2 Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh
mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.
Mashlahah
al-Dharûriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara
jiwa, (3) memelihara akal,(4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashâlih al-khamsah.
2.
Mashlahah al-Hâjiyah
(المصلحة الحاجية),
yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok
(mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia.
3.
Mashlahah al-Tahsîniyyah (المصلحة التحسينية),
yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Ketiga kemaslahatan ini
perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dharûriyyah harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan hâjiyyah, dan kemaslahatan hâjiyyah
lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsîniyyah.
Dilihat dari segi
kandungan mashlahah para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.
Mashlahah
al-‘Ammah (المصلحة العامة), yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan
umat.
2.
Mashlahah
al-Khâshshah (المصلحة الخاصة), yaitu kemaslahatan pribadi dan ini
sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfûd).
Dilihat dari segi
berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushtafa al-Syalabi,
guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.
Mashlahah
al-Tsâbitah (المصلحة الثابتة), yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap,
tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti
shalat, puasa, zakat dan haji.
2.
Mashlahah
al-Mutaghayyirah (المصلحة المتغيرة), yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perbuatan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti
ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Perlunya
pembagian ini, menurut Mushthafa al-Syalabi, di makasudkaan untuk memberikan
batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
Dilihat dari segi
keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.
Mashlahah
al-Mu’tabarah (الصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh
syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras
dalm hadits Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh,
disebabkan perbedaan alat pemukul yang meminum minuman keras. Ada hadits yang
menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya
sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan adakalanya dengan
pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
2.
Mashlahah
al-Mulghâh (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’
menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan
Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
3.
Mashlahah
al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil
yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: (1) mashlahah
al-gharîbah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun sacara umum.
Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam
al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik,
sekalipun ada dalam teoti. (2) mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan
yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung
oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
2.3
Kehujjahan
Mashlahah
Para ulama ushul fiqh
sepakat menyatakan bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam
metode qiyâs. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulghâh dan
mashlahah al-gharîbah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum Islam, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap
kehujjahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil maslahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu
hukum.
Meghilangkan
kemudaratan, bagaimana pun merupakan tujuan syaara’ yang wajib dilakukan. Menolak
kemudaratan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan
demikian, ulama Hanafiyyah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam
nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat
yang didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama Malikiyyah dan
Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah
al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa
bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan
mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah
dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.
Kemaslahatan itu
sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang
didukung nash secara umum.
2.
Kemaslahatan itu
bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.
Kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.
Ulama golongan
Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan mashlahahsebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyâs. Al-Ghazali,
bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya memabahas permasalahan mashlahah
al-mursalah. Ada beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap
kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.
Mashlahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2.
Mashlahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3.
Mashlahah
itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik
menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal,
yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini
al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hâjjiyah, apabila menyangut
kepentingan orang banyak bisa menjadi dharûriyyah.
Dengan demikian, Jumhur
Ulama sebenarnya menerima mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode
mengistinbathkan hukum Islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.
Hasil induksi
terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad),
kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
(Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu
tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat
manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di
dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap
hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
2.
Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja,
akan membawa kesulitan.
3.
Jumhur Ulama
juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti, Abu
Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah satu
kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu
logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi
perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)