BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
Setiap
mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan
bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan
dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh,
satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa
Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah
sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi,
kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam
menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan
demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu.
Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam
mengalami realita tersebut di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
MAZHAB
ASY’ARIYAH
ASejarah
Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam
teologi yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin
Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di
Baghdad tahun 935 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi yang bernama Abu
Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula berguru
kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang tokoh Mu’tazilah. Sejak awalnya Asy’ari
mengikuti paham Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak
diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan.
Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang
Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah,
keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa
tidak puas. Pada suatu ketika terjadi sesuatu yang sangat controversial.
Al-Asy’ari membelot dan meninggalkan kemu’tazilahannya. Setelah merenung selama
sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah. Peristiwa itu
terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun, menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Puncak
pembelotan ini terjadi pada suatu saat ketika ia naik ke atas mimbar dan
berpidato, “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan
oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama
kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar.
Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan
keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya
lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarluaskan
paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal
dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari sendiri sering disebut
pula Asy’ariyah.[2]
BPokok-Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah antara
lain adalah:
1. Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan
Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki
sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan
zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan
zat-Nya. Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana
disebutkan didalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu,
berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat.
2. Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim,
bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu
apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka
jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas
menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianutnya.
Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat
Mu’tazilah.[3]
3. Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat, Tuhan dapat dilihat
dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya antara lain adalah firman
Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
4. Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah
adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk
mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan
daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak
dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan
perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
5. Antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di
’Arsy, mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat di tentukan
bagaimana (bila kaifa). Menurut al-asyari , Tuhan hidup dengan hayat, tapi
hayat-Nya tidak sama dengan manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak
sama dengan tangan manusia.
6. Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai
keadilan Tuhan. Menurut Mu’tazilah Tuhan wajib berbut adil, wajib memasukkan
orang yang baik kedalam surga dan wajib memasukkan orang berdosa ke dalam
nerak. Asy’ari mengatakan Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak
wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan
kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah
milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan
berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam
neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang
lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa historis kemunculan Mazhab Kalam Asy’ariyyah ini dimulai
ketika Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan murid utama al-Jubbba’i dan salah
satu analisator andalan Mu’tazillah di awal abad keempat hijriyah, menyatakan
diri telah bertaubat dari Muktazilah dan “dakhala fi-‘l Islaam”. Ia kemudian
menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan
paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullabiyyah. Dalam perjalanan
selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah
meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam
pengaruh Muktazilah atau Kullabiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti
Al-Ibaanah dan Al-Maqaalaat, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam
Ahmad bin Hanbal dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan
“Ahlus Sunnah Wal Hadits”. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini,
muncullah sebuah aliran baru yang bernama “Asy’ariyyah”. Kemunculan Asy’ariyyah
ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak
serupa, yaitu “Maturidiyyah”, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy.
DAFTAR PUSTAKA
ü Drs. H.
Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet.
1
ü Drs. H.M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.
4
ü Ahmad Amin,
Zuhr al-islmi, jilid IV, t. p., Beirut, 1969, hal. 65.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar