Jumat, 24 Mei 2013

MAZHAB ASY’ARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
Latar belakang
            Setiap mazhab memiliki ajaran-ajaran pokok sebagai pondasi mazhab tersebut. Dengan bergulirnya masa, akan ditemukan beberapa ajaran baru yang berbeda dengan dengan ajaran-ajaran tersebut dari segi kurus dan gemuknya. Sebagai contoh, satu mazhab meyakini bahwa harus ada sistem imamah yang ditentukan oleh pembawa Syari’at sebagai penerus keberlangsungan dakwah Rasulullah SAW. Ini adalah sebuah ajaran pokok yang harus dimiliki oleh mazhabnya. Akan tetapi, kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat di antara para pemeluknya dalam menentukan siapakah yang berhak menjadi imam sebagai penerusnya. Dengan demikian, akan muncul aliran baru yang merupakan cabang dari mazhab itu. Mayoritas agama langit seperti agama Yahudi, Kristen, Majusi dan Islam mengalami realita tersebut di atas.
BAB II
PEMBAHASAN
MAZHAB ASY’ARIYAH
ASejarah Munculnya Asy’ariyah
Asy’ariyah adalah salah satu aliran dalam teologi yang namanya dinisbatkan kepada nama pendirinya, yaitu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari. Ia lahir di kota Basrah pada tahun 260 H/873 M, dan wafat di Baghdad tahun 935 M. Ia merupakan keturunan sahabat besar Nabi yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari seorang delegasi pihak Ali r.a. dalam peristiwa tahkim.
Dalam belajar agama, ia mula-mula berguru kepada Abu Ali Al-Jubai salah seorang tokoh Mu’tazilah. Sejak awalnya Asy’ari mengikuti paham Mu’tazilah hingga usia 40 tahun. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Asy’ari sangat memahami dan menguasai paham kemu’tazilahan. Ia sering diberi kepercayaan oleh gurunya untuk juru bicara debat tentang Mu’tazilah dengan pihak lain.[1]
Meskipun ia sangat menguasai paham Mu’tazilah, keraguan selalu muncul dalam dirinya tentang Mu’tazilah tersebut dan ia merasa tidak puas. Pada suatu ketika terjadi sesuatu yang sangat controversial. Al-Asy’ari membelot dan meninggalkan kemu’tazilahannya. Setelah merenung selama sekitar 15 hari, akhirnya ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah. Peristiwa itu terjadi ketika ia berusia sekitar 40 tahun, menjelang akhir hayat Al-Jubba’i. Puncak pembelotan ini terjadi pada suatu saat ketika ia naik ke atas mimbar dan berpidato, “Saudara-saudara, setelah saya meneliti dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-masing pendapat, ternyata dalil-dalil itu, menurut hemat saya, sama kuatnya. Saya memohon kepada Allah SWT agar diberi petunjuk jalan yang benar. Oleh sebab itu, atas petunjuk Allah SWT saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru. Keyakinan lama saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya kenakan ini.”
Sejak itu, Al-Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jamaah. Pengikut Al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah.[2]
 
BPokok-Pokok Ajaran Asy’ariyah
Adapun pokok-pokok ajaran Asy’ariyah antara lain adalah:
1.    Sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya. Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan didalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat.
2.    Al-Qur’an
Menurut Al-Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk (diciptakan). Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl ayat 40:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka jadilah ia”.
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianutnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.[3]
3.    Melihat Tuhan
Al-Asy’ari berpendapat, Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya antara lain adalah firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat”.
4.    Perbuatan manusia
Perbuatan manusia menurut aliran Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
5.    Antropomorfisme
Al-Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan bertahta di ’Arsy, mempunyai makna, tangan, dan mata; tetapi tidak dapat di tentukan bagaimana (bila kaifa). Menurut al-asyari , Tuhan hidup dengan hayat, tapi hayat-Nya tidak sama dengan manusia. Tuhan mempunyai dua tangan, tetapi tidak sama dengan tangan manusia.
6.    Keadilan Tuhan
Al-Asy’ari menolak paham Mu’tazilah mengenai keadilan Tuhan. Menurut Mu’tazilah Tuhan wajib berbut adil, wajib memasukkan orang yang baik kedalam surga dan wajib memasukkan orang berdosa ke dalam nerak. Asy’ari mengatakan Tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang, baik ke surga ataupun neraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak Tuhan, sebab Tuhanlah yang berkuasa dan segala-galanya adalah milik Allah. Jika Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, bukan berarti Ia tidak adil. Sebaliknya jika Tuhan memasukkan seluruh manusia kedalam neraka, bukan berarti Ia zalim. Tuhan adalah penguasa mutlak dan tidak ada yang lebih kuasa. Ia dapat dan boleh melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya.
 
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Peristiwa historis kemunculan Mazhab Kalam Asy’ariyyah ini dimulai ketika Abul Hasan Al-Asy’ari yang merupakan murid utama al-Jubbba’i dan salah satu analisator andalan Mu’tazillah di awal abad keempat hijriyah, menyatakan diri telah bertaubat dari Muktazilah dan “dakhala fi-‘l Islaam”. Ia kemudian menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullabiyyah. Dalam perjalanan selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam pengaruh Muktazilah atau Kullabiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti Al-Ibaanah dan Al-Maqaalaat, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam Ahmad bin Hanbal dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan “Ahlus Sunnah Wal Hadits”. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini, muncullah sebuah aliran baru yang bernama “Asy’ariyyah”. Kemunculan Asy’ariyyah ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak serupa, yaitu “Maturidiyyah”, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy.
DAFTAR PUSTAKA
ü  Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. 1
ü  Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4
ü  Ahmad Amin, Zuhr al-islmi, jilid IV, t. p., Beirut, 1969, hal. 65.


[1] Drs. H. Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. 1, Hal. 179
[2] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 4, Hal. 122
[3] Ibid, Hal. 123-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar