Jumat, 24 Mei 2013

Ma’rifah dan Mahabbah

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf, agama ini akan kehilangan ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Bahkan para ulama’ telah memberikan putusan hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim. Seperti dalam perkataan ‘Ali Abi Hasan Asy Syadzili yakni : “Barangsiapa yang tidak menyelami ilmu tasawuf maka tetkala dia meninggal akan membawa dosa yang besar tetapi dia tidak mengetahuinya”. Demikian karena dengan tasawuf adalah seorang muslim akan mengatahui kondisi nafsunya dan sifat-sifatnya yang tercela serta mengetahui cara beradab dengan Allah Swt. di setiap waktu, tempat dan dalam kondisi apapun.
Tasawuf merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Komunikasi yang harus dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga pangkat atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi pada perkembangannya, sebagian mutashowifin memberikan istilah yang berbeda-beda dalam menamakan puncak maqamat. Seperti Robi’ah al Adawiyyah dengan teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa beribadah hanyala murni karena cinta kepada sang Kholiq, bukan karena takut akan siksaan neraka dan bukan karena merahi janji kenikmatan surga.
Disisi lain, Hujjah al Islam al Imam al Ghazali memberikan istilah al Ma’rifah bagi salikin yang sudah berada pada maqam tertinggi. Beliau berpendapat bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan akal saja, tetapi harus dengan perantara intuitif.
Dari sekilas keterangan di atas, kami akan memberikan suguhan yang lengkap dalam makalah ini, tentang 2 teori yang telah dicetuskan oleh 2 ahli tasawuf di atas, sehingga para salikin memahami dengan benar tentang macam-macam maqomat.

B.    Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai macam istilah maqomat ‘aliyah yang telah dicetuskan oleh para ahli tasawuf, maka akan kami dapat merumuskan :
1.      Aliran ma’rifah, tokoh dan ajaranya
2.      Aliran Mahabbah, tokoh dan alirannya
3.      Analisa tentang aliran Ma’rifah dan aliran mahabbah

C.    Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini kami memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut :
1.      Mengetahui dan memahami arti dari al Ma’rifah.
2.      Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
3.      Mengetahui konsep falsafah ‘Arofa Robbah   
4.      Mengetahui konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.


BAB II
PEMBAHASAN

A.       MA’RIFAT
           
            Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran . Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian. adalah sosok sufi sekaligus filosof yang melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat adalah: “ Tampak jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal    ketuhanan yang mencakup segala yang ada . Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah: Memandang kepada wajah (rahasia) Allah[3].
            Menurut Al-Ghazali, orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif), tidak akan mengatakan “ya Allah atau ya Rabb” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu .
            Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggi yang bisa dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal .
            Dari aspek bahasa, ma’rifat berasal dari kata عرف , يعرف , عرفا, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Bisa juga berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya[6]. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, melainkan pada hal-hal yang bersifat batin. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu[7].
            Ma’rifat adalah salah satu tingkatan dalam tasawuf yang diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang merasa satu dengan yang diketahuinya, yaitu Tuhan[8]. Menurut Harun Nasution, ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dan hati sanubari . Ma’rifat  berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi mengatakan:
1.      Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2.      Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3.      Yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.      Seandainya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya.  Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang[10].
            Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifat adalah mengetahui rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
            Alat yang dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan Heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan .
            Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini  diilustrasikan dalam firman Allah:
Artinya : “ Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf : 143)

Pengertian tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut: Dalam laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan, gerak, dan diam seorang hamba adalah bagi Allah semata[12]. Tajalli juga bisa diartikan: Siapa pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia mampu menangkap nur Ilahi. Dia lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan mampu menyelami dunia batin karena sifat kebaruannya telah fana. Dia pun sampai kepada maqam Haqqul Yaqin[13].
            Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan .
            Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat juga dari isyarat ayat berikut:  
Artinya : “ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(An Nur : 35)

            Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
Artinya : “dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)

           Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[15], Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan  al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
            Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah  pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan[17].Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya : “ atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur : 40)
  
Artinya : “ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)

            Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .
            Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku[19].
            Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya  dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

B.      Pengertian Mahabbah
Cinta atau yang dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة, yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau cinta yang mendalam . Dalam  Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd (benci)[21]. Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat pengasih atau penyayang[22]. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas , tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam secara ruhani kepada Tuhan[24].
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”[25].
            Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah[26]. Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan segalanya[27]. Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1.    Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2.    Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3.    Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq, dan mahabbah orang yang arif.
a.    Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Allah.
b.    Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan kehendak  dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c.    Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang mencintai[29].
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat  Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh mahabbah ini .
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan[31].
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang dicintai”. Oleh karena itu menurut  al-Gazali, mahabbah itu adalah manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap sufi.

C.    Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah
Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
 Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepada dan karena Allah semata .
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat)[36].
Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
 Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.


BAB III
KESIMPULAN

            Tasawuf memiliki peran penting dalam perjalan para salikin kepada yang dituju yakni Allah. Tanpa tasawuf para salikin tak akan dapat mengenal dan mencintai Allah Swt. Sehingga dalam perjalananya mereka melewati dari tahap satu ke tahap lainnya, dan berakhir pada maqomat ‘aliyah. Maqam yang telah tersingkap sebuah ta’bir yang selama ini telah menghalangi mereka melihat Allah dengan mata hatinya. Maqam yang hanya mengenal ” Cinta “ kepada Allah, tanpa memperhitungkan sakitnya siksaan api neraka dan nikmatnya hidangan surga. Maqam yang tidak mengenal lagi siapaka dirinya.
            Dalam maqam ini, para ahli tasawuf memberikan berbagai istilah yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman rohaninya yang telah dicapai selama menjadi seorang salik. Seperti istilah al Ma’rifah yang telah digagas oleh Abu Hamid al Ghazali, dalam istilahnya beliau menyebutkan bahwa, al Ma’rifah adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan melalui tahapan Takhalli, Tahalli, Tajalli terlebih dahulu, sehingga mata hatinya terbuka tanpa ada ta’bir yang dapat menghalangi antara salik  dan Tuhan.
            Rabi’ah al Adawiyyah juga memberikan nama bagi salik yang sudah duduk bersanding dengan Allah Swt. Yakni “ al Mahabbah”. Rabi’ah lebih senang dengan istilah Hubb, sebab menurut beliau, cinta tak memandang apa yang telah dilarang oleh Mahbub dan tidak pula memandang apa yang telah diperintahNya, tetapi Muhib hanyalah memandang siapa yang memerintah dan siapa yang melarangnya. Sehingga dia tidak takut jika dia di masukkan ke dalam neraka, tidak akan senang jika dia diberi hidangan surga, dia lebih senang bersama Allah. Neraka dan surga tidaklah menjadi ukurannya dalam beribadah, hanya Allah yang telah menjadi tujuannya semata.


DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002
Abu Hamid al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din”. Dar al Kitab al Islami, Bairut, tth.
Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Qahirah, Mesir, tth.
Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978
Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta
Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987
Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997


________________________________________
[1], Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ U’lum al Din Hal 3
[2] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995, hlm. 227.
[3] Ibid., hlm. 227.
[4] Abuddin Nata, akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002, hlm. 226-227.
[5] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 78
[6] Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979, hlm. 72.
[7] Ibid.
[8] Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Qahirah, Mesir, tth, hlm. 158-159.
[9] Harun Nasution, hlm. 75.
[10] Ibid.
[11] Abuddin Nata, hlm. 222.
[12] Mustafa Zahri, hlm. 246.
[13] Ibid.
[14] Abuddin Nata, hlm. 224.
[15] Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm. 56.
[16] Abuddin Nata, hlm. 225.
[17] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726.
[18] Abuddin Nata, hlm. 230.
[19] Ibid.
[20] Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 96.
[21] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439.
[22] Ibid.
[23] Abuddin Nata, hlm. 208
[24] Jamil Shaliba, hlm. 440.
[25] Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth., hlm. 318.
[26] Ibid. Hal. 139
[27] Jamil Shaliba, hlm. 617
[28] Harun Nasution,hlm. 70.
[29] Ibid.
[30] Abuddin Nata, hlm. 210.
[31] Mustafa Zahri, hlm. 227.
[32] Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
[33] Ibid
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar