BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah
satu pilar Islam. Ia adalah ajaran dan amalan Rasulullah saw. Beserta
para sahabatnya. Sesungguhnya tanpa tasawuf, agama ini akan kehilangan
ruhnya dan tidak ada bedanya dengan ideologi buatan manusia. Bahkan para
ulama’ telah memberikan putusan hukum wajib ‘ain bagi setiap muslim.
Seperti dalam perkataan ‘Ali Abi Hasan Asy Syadzili yakni : “Barangsiapa
yang tidak menyelami ilmu tasawuf maka tetkala dia meninggal akan
membawa dosa yang besar tetapi dia tidak mengetahuinya”. Demikian karena
dengan tasawuf adalah seorang muslim akan mengatahui kondisi nafsunya
dan sifat-sifatnya yang tercela serta mengetahui cara beradab dengan
Allah Swt. di setiap waktu, tempat dan dalam kondisi apapun.
Tasawuf
merupakan salah satu jalan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan, sebuah
kesadaran akan adanya komunikasi dengan Tuhan. Komunikasi yang harus
dijalin di setiap saat, tanpa mempertimbangkan apapun. Sehingga pangkat
atau maqom tertinggi yang patut diperoleh untuknya. Tetapi pada
perkembangannya, sebagian mutashowifin memberikan istilah yang
berbeda-beda dalam menamakan puncak maqamat. Seperti Robi’ah al
Adawiyyah dengan teorinya ”al Mahabbah”. Yang berpandangan bahwa
beribadah hanyala murni karena cinta kepada sang Kholiq, bukan karena
takut akan siksaan neraka dan bukan karena merahi janji kenikmatan
surga.
Disisi lain, Hujjah al Islam al Imam al Ghazali memberikan
istilah al Ma’rifah bagi salikin yang sudah berada pada maqam tertinggi.
Beliau berpendapat bahwa tidaklah cukup seseorang mengenal Allah dengan
akal saja, tetapi harus dengan perantara intuitif.
Dari sekilas
keterangan di atas, kami akan memberikan suguhan yang lengkap dalam
makalah ini, tentang 2 teori yang telah dicetuskan oleh 2 ahli tasawuf
di atas, sehingga para salikin memahami dengan benar tentang macam-macam
maqomat.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang mengenai
macam istilah maqomat ‘aliyah yang telah dicetuskan oleh para ahli
tasawuf, maka akan kami dapat merumuskan :
1. Aliran ma’rifah, tokoh dan ajaranya
2. Aliran Mahabbah, tokoh dan alirannya
3. Analisa tentang aliran Ma’rifah dan aliran mahabbah
C. Tujuan Pembahasan
Dalam makalah ini kami memiliki tujuan pembahasan sebagaimana berikut :
1. Mengetahui dan memahami arti dari al Ma’rifah.
2. Megetahui dan memahami arti dari mahabbah.
3. Mengetahui konsep falsafah ‘Arofa Robbah
4. Mengetahui konsep Falsafah Hub al-Illah dari Rabi’ah al-adawiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MA’RIFAT
Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush
yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini
berada pada bagian timur laut negara Iran . Al Ghazali dengan nama
lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini
mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling
terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar
Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam
berbagai perbincangan kesufian. adalah sosok sufi sekaligus filosof yang
melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat adalah: “ Tampak
jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal
ketuhanan yang mencakup segala yang ada . Lebih lanjut Al-Ghazali
mengatakan, ma’rifat adalah: Memandang kepada wajah (rahasia) Allah[3].
Menurut Al-Ghazali, orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif),
tidak akan mengatakan “ya Allah atau ya Rabb” karena memanggil Tuhan
dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang
tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil
temannya itu .
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih
dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun
mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang
diucapkan oleh Rabi’ah al Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta
seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari
kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki,
kesenangan, dan lain-lain. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan
mahabbah adalah level paling tinggi yang bisa dicapai seorang sufi. Dan,
pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya daripada
pengetahuan yang diperoleh dengan akal .
Dari aspek
bahasa, ma’rifat berasal dari kata عرف , يعرف , عرفا, yang artinya
pengetahuan atau pengalaman. Bisa juga berarti pengetahuan tentang
rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang
biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya[6]. Ma’rifat adalah
pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir,
melainkan pada hal-hal yang bersifat batin. Hal ini didasarkan pada
pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan
segala yang maujud berasal dari yang satu[7].
Ma’rifat
adalah salah satu tingkatan dalam tasawuf yang diartikan sebagai
pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini
sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang merasa satu dengan
yang diketahuinya, yaitu Tuhan[8]. Menurut Harun Nasution, ma’rifat
menggambarkan hubungan rapat dalam dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dan
hati sanubari . Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga
hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi mengatakan:
1.
Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata
kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4.
Seandainya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat
padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta
keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya
keindahan yang gilang-gemilang[10].
Dari beberapa
definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui
rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan
yang ingin dicapai oleh ma’rifat adalah mengetahui rahasia yang terdapat
dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk
menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati),
tetapi artinya tidak sama dengan Heart dalam bahasa Inggris karena qalb
selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya
qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang
sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari
segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui
rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan
maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat
mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah
disinari cahaya Tuhan .
Proses sampainya qalb pada cahaya
Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli.
Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan
maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu
menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan
tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal
ini diilustrasikan dalam firman Allah:
Artinya : “ Dan tatkala Musa
datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan
dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya
Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat
kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup
melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya
(sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya
Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur
luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia
berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang
yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf : 143)
Pengertian
tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut:
Dalam laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan,
gerak, dan diam seorang hamba adalah bagi Allah semata[12]. Tajalli juga
bisa diartikan: Siapa pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia
mampu menangkap nur Ilahi. Dia lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan
mampu menyelami dunia batin karena sifat kebaruannya telah fana. Dia pun
sampai kepada maqam Haqqul Yaqin[13].
Kutipan tersebut
menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan
ma’rifat setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifat
dan rasa kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang
digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah
mendapatkan cahaya dari Tuhan .
Kemungkinan manusia
mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat
juga dari isyarat ayat berikut:
Artinya : “ Allah (Pemberi) cahaya
(kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti
sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar.
pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang
bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon
yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur
(sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya
(saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di
atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa
yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi
manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(An Nur : 35)
Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui
rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa mengetahui hal-hal
yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai
ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah.
Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki
antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
Artinya
: “dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami,
mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus :
76)
Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi
nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[15],
Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina
menyebutkan al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren
mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa
menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai
wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa
ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang
diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan
Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan
dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang
dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan
Tuhan[17].Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya : “ atau seperti
gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di
atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang
tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat
melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh
Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur : 40)
Artinya
: “ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk
(menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama
dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi
mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu
dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)
Dua
ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut
ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki.
Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup,
sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan.
Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya.
Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam
Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .
Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku
(Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin
memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku
memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku[19].
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini
menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
B. Pengertian Mahabbah
Cinta atau yang
dikenal dalam bahasa Arab Mahabbah berasal dari kata أحب , يحب , محبة,
yang secara bahasa berarti mencintai secara mendalam, kecintaan, atau
cinta yang mendalam . Dalam Al-Mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba
mengatakan, Mahabbah (cinta) adalah lawan dari kata al Baghd
(benci)[21]. Al- Mahabbah dapat pula berarti al Wadud, yakni yang sangat
pengasih atau penyayang[22]. Selain itu, al-mahabbah dapat pula berarti
kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk
memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti
cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang
tua pada anaknya, seseorang pada sahabatnya, suatu bangsa terhadap tanah
airnya, atau seorang pekerja pada pekerjaannya. Mahabbah pada tingkat
selanjutnya dapat pula berarti suatu usaha sunguh-sungguh dari seseorang
untuk mencapai tingkat ruhaniah tertinggi dengan tercapainya gambaran
yang mutlak,yaitu cinta kepada Tuhan .
Kata Mahabbah tersebut
selanjutnya digunakan untuk menunjukkan suatu paham atau aliran dalam
tasawwuf. Dalam hubungan ini, objek mahabbah lebih ditunjukkan kepada
Tuhan. Dari sekian banyak arti mahabbah yang dikemukakan di atas ,
tampaknya ada juga yang cocok dengan arti mahabbah yang dikehendaki
dalam tasawuf, yaitu mahabbah yang artinya kecintaan yang mendalam
secara ruhani kepada Tuhan[24].
Mahabbah dalam pengertian tasawuf ini
lebih lanjut dikemukakan oleh Al-Qusyairi sebagai berikut: “Al-Mahabbah
merupakan hal (keadaan) jiwa yang mulia yang bentuknya adalah
disaksikan nya (kemutlakan) Allah Swt oleh hamba, selanjutnya yang
dicintainya itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasiha-Nya”[25].
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya itu
selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang
diberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang
melimpah[26]. Mahabbah berbeda dengan al Raghbah. Mahabbah adalah cinta
yang tidak dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi,
sedangkan al Raghbah adalah cinta yang disertai dengan keinginan yang
kuat untuk mendapatkan sesuatu, meskipun harus mengorbankan
segalanya[27]. Menurut Harun Nasution, pengertian mahabbah adalah:
1. Patuh kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi,yaitu Tuhan .
Menurut
Al-Sarraj, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, ada tiga macam
tingkatan mahabbah, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq,
dan mahabbah orang yang arif.
a. Mahabbah orang biasa mengambil
bentuk selalu mengingat Allah dengan berzikir, memuji Allah, suka
menyebut nama-nama Allah, dan memperoleh kesenangan dalam berdialog
dengan Allah.
b. Mahabbah orang shidiq adalah cinta dari
seseorang yang kenal kepada Allah, kepada kebesaran-Nya, kepada
kekuasaan-Nya, kepada ilmu-Nya, dan lain-lain. Juga cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan
demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia
mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog
itu. Cinta tingkat kedua ini membuat seseorang sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan
perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.
c.
Mahabbah orang yang arif adalah cinta dari seseorang yang tahu betul
kepada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang
mencintai[29].
Dari ketiga tingkatan mahabbah yang dikemukakan oleh
Harun Nasution tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu
mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan dengan menyebut-Nya melalui
dzikir, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan
itu, dan akhirnya menyatu kekal (baqa) dalam sifat Tuhan. Dari ketiga
tingkatan ini tampaknya cinta yang terakhirlah yang ingin dituju oleh
mahabbah ini .
Dengan urain tersebut kita dapat memperoleh pemahaman
bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan sepenuh
hati sehingga sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk kedalam diri yang
mencintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang
sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh
jiwa. Selain itu, uraian di atas juga menggambarkan bahwa mahabbah
adalah merupakan hal yaitu keadaan mental, seperti perasaan senang,
perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Hal bertalian dengan
maqam karena hal bukan diperoleh atas usaha manusia, melainkan karena
anugrah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula dengan maqam, hal
bersifat semaentara, datang dan pergi, sebagaimana datang dan perginya
seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan[31].
Terlepas dari
banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan “seluk-beluk” cinta atau
mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan
sebuah sikap operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah (cinta
kepada Allah) adalah salah satu ajaran pokok yang memungkinkan Islam
membawa rahmat bagi seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah
sebutan untuk emosi semata-mata yang hanya dipupuk di dalam batin saja,
akan tetapi ia adalah cinta yang memiliki kecenderungan pada kegiatan
nyata sekaligus menjadi sumber keutamaan moral.
Hanya saja dalam
perjalanan sejarah umat Islam, term “cinta” atau “mahabbah” telah
menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi. Mereka menggeser
penekanan cinta kearah idealisme emosional yang dibatinkan secara murni.
Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir
selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun
dalam pengertiannya. Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan
tentang Tuhan melalui hati, sedang mahabbah adalah merupakan perasaan
kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa terisi oleh rasa
kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari
pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan
mendalam, sehingga yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi”diri yang
dicintai”. Oleh karena itu menurut al-Gazali, mahabbah itu adalah
manifestasi dari makrifat kepada Tuhan.
Demikian cintanya orang-orang
sufi kepada Tuhan, mereka rela mengorbankan dirinya demi memenuhi
keinginan Tuhannya. Olehnya itu, cinta atau mahabbah pada hakikatnya
adalah lupa terhadap kepentingan diri sendiri, karena mendahulukan
kepentingan yang dicintainya yaitu Tuhan. Mahabbah adalah suatu ajaran
tentang cinta atau kecintaan kepada Allah. Tetapi bagaimana bentuk
pelaksanaan kecintaan kepada Allah itu tidak bisa dirumuskan secara
pasti karena hal itu menyangkut perasaan dan penghayatan subyektif tiap
sufi.
C. Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah
Rabi’ah Al
Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya
literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam
sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor
tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah)
dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand
Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT).
Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka
atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata
terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang
azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah
kedekatan pada Tuhan.
Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk
erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam
kesederhanaan. Definisi cinta menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba
kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu
harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu
bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia
serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa
cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana
mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia
harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian
itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih
ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.
Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari
ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa
hijab. Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai
sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabi’ah
merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh
adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang
subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali
tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
Wahai
Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di
neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya.
Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan
dariku keindahan abadi-Mu.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah
hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk
menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon
restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi Muslim
sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu
rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam
kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang
yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri
pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan
mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan
tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir
hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi
memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat
sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan
ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan.
Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat
itu timbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan
tanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan
apa pun.
Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya
tak berbeda jauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep
khauf (takut) dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri
mengabdi kepada Allah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan
untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi
kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan
surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta
kepada dan karena Allah semata .
Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu
kuat membelenggu hatinya, sehingga hatinya pun tak mampu untuk berpaling
kepada selain Allah. Pernah suatu ketika Rabi’ah ditanya, “Apakah
Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku sangat
mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari
mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan
dan apakah ia membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan
tidak meninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa
membenci syetan.”
Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya,
sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam
hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena
itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam
hidup.
Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah
sampai kepada maqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai
ke tahapan maqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui
tahapan-tahapan lain, antara lain tobat, sabar dan syukur.
Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada
Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan
masih belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh
karena itu, Rabi’ah tak henti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu
agar ia bisa terus mencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya.
Dalam
kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat
kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetap mencintai
Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya.
Cinta bagi Rabi’ah telah
mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan segalanya selain Allah.
Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih dari itu
Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla
kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah
berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya.
Harapan yang lebih jauh dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan
lebih dekat dengan dirinya, dan kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab
kebaikan-Nya di dunia dan juga di akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan
jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu
dirindukannya.
Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas
mengatakan, dalam Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan
mencintai-Nya dengan merenungi esensi kepastian, dan tidak melalui
cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat
dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan
pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang
meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya,
menanggalkan duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih
memiliki nafsu keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan
nafsu-nafsu tersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatnya dan Dia
satu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya dari
keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun ia
masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untuk
dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia
berada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukan
balasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya. Al-Makki
melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkan rahmat-Nya di
muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat ia melintasi Jalan
itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu pada
saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah
tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagi pujian yang layak
bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allah sendiri yang telah
membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia dan akhirat)[36].
Dalam
shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “ Kamu belum beriman sebelum Allah
dan RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun
meriwayatkan bahwa Rasullullah bersabda, “ Cintailah Allah karena nikmat
yang dianugerahkanNya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada
Allah. Dan Cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”
Kini
Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasih Ilahi itu meninggal untuk
selamanya, dan akan kembali hidup bersama Sang Kekasih di sisi-Nya.
Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapi ruh sucinya terbang bersama
para sufi, para wali, dan para pecinta Ilahi.
BAB III
KESIMPULAN
Tasawuf memiliki peran penting dalam perjalan para salikin kepada yang
dituju yakni Allah. Tanpa tasawuf para salikin tak akan dapat mengenal
dan mencintai Allah Swt. Sehingga dalam perjalananya mereka melewati
dari tahap satu ke tahap lainnya, dan berakhir pada maqomat ‘aliyah.
Maqam yang telah tersingkap sebuah ta’bir yang selama ini telah
menghalangi mereka melihat Allah dengan mata hatinya. Maqam yang hanya
mengenal ” Cinta “ kepada Allah, tanpa memperhitungkan sakitnya siksaan
api neraka dan nikmatnya hidangan surga. Maqam yang tidak mengenal lagi
siapaka dirinya.
Dalam maqam ini, para ahli tasawuf
memberikan berbagai istilah yang berbeda-beda sesuai dengan pengalaman
rohaninya yang telah dicapai selama menjadi seorang salik. Seperti
istilah al Ma’rifah yang telah digagas oleh Abu Hamid al Ghazali, dalam
istilahnya beliau menyebutkan bahwa, al Ma’rifah adalah pengetahuan
tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya
melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang
sufi. Dengan melalui tahapan Takhalli, Tahalli, Tajalli terlebih dahulu,
sehingga mata hatinya terbuka tanpa ada ta’bir yang dapat menghalangi
antara salik dan Tuhan.
Rabi’ah al Adawiyyah juga
memberikan nama bagi salik yang sudah duduk bersanding dengan Allah Swt.
Yakni “ al Mahabbah”. Rabi’ah lebih senang dengan istilah Hubb, sebab
menurut beliau, cinta tak memandang apa yang telah dilarang oleh Mahbub
dan tidak pula memandang apa yang telah diperintahNya, tetapi Muhib
hanyalah memandang siapa yang memerintah dan siapa yang melarangnya.
Sehingga dia tidak takut jika dia di masukkan ke dalam neraka, tidak
akan senang jika dia diberi hidangan surga, dia lebih senang bersama
Allah. Neraka dan surga tidaklah menjadi ukurannya dalam beribadah,
hanya Allah yang telah menjadi tujuannya semata.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002
Abu Hamid al Ghazali, Ihya’ Ulum al Din”. Dar al Kitab al Islami, Bairut, tth.
Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Qahirah, Mesir, tth.
Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978
Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth.
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983
Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978
Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta
Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995
Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987
Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997
________________________________________
[1], Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ U’lum al Din Hal 3
[2] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, cet. Ke-1, 1995, hlm. 227.
[3] Ibid., hlm. 227.
[4] Abuddin Nata, akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Ke-4, 2002, hlm. 226-227.
[5] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 78
[6] Jamil Shaliba, Al Mu’jam al Falsafi Jilid 2, Dar al-Kitab, Beirut, 1979, hlm. 72.
[7] Ibid.
[8] Al-Kalabadzi, Al-Ta’arruf li Madzhab Ahl al-Tasawwuf, Dar al-Qahirah, Mesir, tth, hlm. 158-159.
[9] Harun Nasution, hlm. 75.
[10] Ibid.
[11] Abuddin Nata, hlm. 222.
[12] Mustafa Zahri, hlm. 246.
[13] Ibid.
[14] Abuddin Nata, hlm. 224.
[15] Al-Syarbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur’an, Dar Al-Ma’arif, Mesir, 1978, hlm. 56.
[16] Abuddin Nata, hlm. 225.
[17] Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqa, Al-Mu’jam al-Mufahras li Afadz al-Qur’an al-Karim, Dar al-Fikr, Beirut, 1987, hlm. 725-726.
[18] Abuddin Nata, hlm. 230.
[19] Ibid.
[20] Kamus Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hlm. 96.
[21] Jamil Shaliba, Al-Mu’jam al-Falsafi Jilid 2, Dar al-Kairo, Mesir, 1978, hlm. 439.
[22] Ibid.
[23] Abuddin Nata, hlm. 208
[24] Jamil Shaliba, hlm. 440.
[25] Al-Qusyairi al-Naisaburi, Al-Risalah al-Qusyairiyah, Dar al-Kahir, Mesir, tth., hlm. 318.
[26] Ibid. Hal. 139
[27] Jamil Shaliba, hlm. 617
[28] Harun Nasution,hlm. 70.
[29] Ibid.
[30] Abuddin Nata, hlm. 210.
[31] Mustafa Zahri, hlm. 227.
[32] Kamal Adnan Mustofa, Rahasia Pesona Cinta Illahi, Jakarta : Rabitha Press, 2008
[33] Ibid
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Smith Margaret, Rabi’ah Pergulatan Spiritual Peremupuan, Surabaya : Risalah Gusti, 1997
Tidak ada komentar:
Posting Komentar