A. Prolog
Logika Aristotelianisme;
dari Yunani menuju Dunia Islam
Menentukan dengan pasti
permulaan masuknya ilmu filsafat dan sains Yunani, sejatinya sangat rumit,
karena para sejarawan tergesa-gesa menunjuk masa Abbasiyah sebagai titik tolak
transformasi pemikiran filsafat Yunani ke dalam dunia Islam melalui proses
penerjemahan. Para sejarawan sepakat bahwa turâts kefilsafatan Yunani
yang pertama kali dipelajari Muslim adalah logika (Manthiq). Hal ini,
karena logika[2] setidaknya adalah prolog untuk filsafat itu
sendiri. Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr dalam Manâhij al-Bahts ‘ind Mufakkiri
al-Islâm Islâm wa Iktisyâf al-Manhaj al-‘Ilmî fî al-‘Âlam al-Islâmî,
sepakat dengan hal yang terakhir (=logika sebagai warisan intelektual Yunani
pertama yang dipelajari muslimin). Namun beliau tidak menutup mata akan
aktifitas transformasi khazanah intelektual Yunani –termasuk di antaranya
logika– yang terjadi pra dinasti Abbasiyah, yakni masa dinasti Umawiyyah
(132-140 H/661-750 M), bahkan, lebih spesifik, pada awal pertumbuhannya. Karena
negara-negara Mesir, Syam, bahkan Irak dan Persi yang ditaklukkan imperium Bani
Umayyah sudah terpengaruh spirit Hellenisme sehingga akulturasi kreatif antara
dua peradaban ini tak bisa dielakkan lagi. Akulturasi kreatif ini juga didorong
oleh beberapa faktor intern peradaban Islam sendiri.
Menurut Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr
faktor terpenting akulturasi kreatif antara peradaban Islam dan Hellenisme
adalah sy’iar konsep taswiyah (egalitarianisme) antara muslimin, baik
Arab maupun Ajam (Lâ fadll li ‘arobî ‘alâ ‘ajamî illâ bi-al-taqwâ ),
yang menurut penulis sangat reformatik dibandingkan dengan agama-agama lain
yang mengenal “strata-strata bangsa” secara global. Ini yang mendorong jamak
bangsa taklukkan –yang tentunya memiliki potongan-, kesamaan-, perbedaan-,
silang-, atau bahkan, saling-tubrukan-peradaban-dan-kebudayaan-yang-berbeda,
serta juga pengaruh Hellenisme— berbondong-bondong memeluk Islam. Secara historisisme,
Islam sejak awal pertumbuhannya begitu inklusif, bahkan berinteraksi secara
aktif dengan pengaruh impor. Sejarah berkata bahwa salah seorang khalifah
Umawiyyah tersentak ketika mengetahui bahwa banyak muhadditsîn dan
fuqahâ` pada zaman itu memiliki banyak mawâlî (budak asal Persi).[3]
Perkenalan dengan khazanah
intelektual Yunani, pada gilirannya, tak bisa dihindari muslimin (meskipun
menurut Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, mereka tak mengambil sepenuhnya unsur-unsur
itu). Tak heran sebagian sejarawan-periode-awal pemikiran teologi Islam,
seperti Al-Syahrastani (w. 548 H), menyebut bahwa para Teolog muslim awal,
seperti para kolega Washil ibn ‘Atho` (133 H/728 M), juga mengkaji
kitab-kitab filsafat sebelum tenggelam dalam teologi Mu’tazilah.[4]
Alâ kulli hâl, transformasi
filsafat Yunani ke dunia Islam sudah terjadi pada masa Bani Umawiyyah dengan
bukti-bukti, di antaranya:
[if !supportLists]--1. Riwayat
Ibn Katsir bahwa ilmu-ilmu klasik (filsafat Yunani) sudah masuk dunia Islam
pada kurun pertama hijriyah ketika terjadi ekspansi di negara-negara Ajam,
meskipun belum begitu tersebar dan meruyak karena Ulama salaf melarang
mendalaminya.[5]
[if !supportLists]--2. Nukilan Shadr
al-Dîn al-Syirâzi (Mullâ Shadrâ) dari Muthârahâtnya Al-Suhrawardî,
bahwa sudah dikenal nama-nama Yunani dalam kitab-kitab klasik Arab, sehingga
banyak yang menyangka setiap nama dari Yunani pasti nama seorang filosof.[6]
Dari bukti-bukti manuskrip di
atas, terlihat jelas bahwa transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam sudah
terjadi pada kurun pertama Hijriyah, kemudian diteruskan pada masa Abbasiyah
(113-656 H/750-1258 M).
Di antara tokoh yang berperan
dalam penerjemahan dan atau peringkasan kitab-kitab logika Aristoteles ke dalam
bahasa Arab, yaitu: Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqoffa’ (139 H)[7],
Abu Nuh, Penjaga Bait al-Hikmah [semasa dengan Al-Makmun (198-217 H/813-833 M)]
–dua yang terakhir beragama Nashrani dari Syiria–, Hunain ibn Ishaq (l. 194
H/909 M; w. 264 H/977 M), Abu Basysyar Mattâ ibn Yunus[8],
‘Abd al-Masih ibn Nâ’imah al-Hamshî, Yahya ibn ‘Adî (w. 264 H/975 M) –yang
terakhir terkenal dengan sebutan Al-Manthiqî (Si Ahli Logika), di
antaranya, karena terjemahan manthiqnya yang keren–, dan seterusnya.
Terdapat tiga inklinasi logika
yang masuk dunia Islam: aliran Paripatetik (al-Masyâiyyah), aliran
Stoicisme (al-Riwâqiyyah) dan aliran Neo Platonisme. Aliran Paripatetik
adalah kelompok pengikut Aristoteles yang mengedepankan logika sebagai ilmu
teoritis (al-shûrî) dan materialis (al-mâddî) sekaligus.
Sayangnya aliran ini sudah tercampur dengan unsur-unsur Neo Platonisme,
terutama di selain kawasan Andalus, seperti kawasan masyriq. Inklinasi
campuran ini dikembangkan oleh para filosof muslim besar, seperti Al-Kindî,
Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ (kemudian dua yang terakhir dikritik oleh Al-Ghazâlî).
Adapun Stoicisme merupakan aliran filsafat Hellenisme yang dibangun di Athena
oleh Zeno of Citium pada 300 SM. Para Stoics (sebutan untuk para
pengikut aliran Stoicisme) menganggap bahwa timbulnya emosi hawa nafsu
disebabkan oleh kesalahan peradilan dan pelaku peradilannya. Mereka percaya
bahwa indikasi kecenderungan filsafat seseorang bukan tercermin dari apa yang
diucapkan, tetapi dari apa yang dilakukan. Karena itu mereka menjadikan
alirannya sebagai way of life.[9] Logika aliran
ini hanya percaya pada hal-hal kongkret (al-hissî) dan mengingkari
definisi suatu materi berdasarkan al-jins dan al-fashl.[10] Sementara aliran Neo Platonisme merupakan aliran
Platonisme yang ditafsirkan kembali oleh para Komentator Kristen Alexandria di
Mesir.[11] Ketiga inklinasi aliran ini dalam kenyataannya
saling bercampur-aduk satu sama lain.
B. Garis Besar Logika Klasik
Secara garis besar,
perkembangan ilmu logika mengalami tiga fase: 1) fase formatif klasik masa
Yunani yang dipandegani oleh Aristoteles (aliran Paripatetik-Aristotelian),
dikanter oleh Zeno of Citium (Aliran Stoicisme), dan pengaruh warisan Plato (istidlâl
bi-al-qismah al-aflâthûniyyah); 2) fase komentar, kontroversi dan inovasi
para Komentator Muslim; 3) inovasi peradaban Barat. Bab ini hanya akan
menyinggung poin pertama dan kedua secara global. Secara global, terdapat empat
pembahasan logika sebagai berikut:
I. Status Ilmu Logika
[populer di kalangan para Komentator Muslim (al-Syurrâh al-Islamiyyîn),
namun tak populer dalam turâts Aristoteles]
Terjadi silang pendapat
mengenai status ilmu logika terhadap ilmu filsafat. Hal ini terjadi karena
Aristoteles, sebagai the Founding Father of Logic, tidak menjuluki
secara tegas status ilmu ini. Setidaknya ada tujuh pendapat dalam masalah ini.
Satu sampai tiga pertama sebagai pokok, sisanya sebagai cabang darinya:
1) Logika hanya sebagai
prolog untuk filsafat, bukan bagian darinya. Benar bahwa Aristoteles tidak
menyebut status ilmu ini secara tegas. Namun riset lebih lanjut terhadap turâts
Aristoteles yang dilakukan oleh para sejarawan menyatakan bahwa Aristoteles
cenderung menganggap logika sebagai prolog untuk filsafat, bukan bagian
darinya.[12]
2) Logika adalah bagian dari
filsafat. Para Stoics menganggap logika sebagai bagian dari hikmah. Sedangkan
hikmah terbagai menjadi tiga bagian: al-thabî’î, al-jadl, al-akhlâq.
Sedangkan al-jadl adalah logika.
3) Logika adalah prolog
untuk filsafat sekaligus bagian darinya. Para Komentator Alexandria tidak
mau pusing dalam perdebatan ini. Mereka mengkompromikan kedua pendapat di atas.
Mereka menganggap bahwa logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian
darinya. Al-Khawârizmî (387 H/977 M) dalam Mafâtîh al-’Ulûm
mengilustrasikan perdebatan ini, “Al-Falsafah merupakan derivasi dari
kata Yunani, philasophya, yang bermakna mencintai hikmah. Ketika
diarabkan menjadi failasûf. Kemudian filsafat diderivasikan dari kata
yang sudah diarabkan ini. Makna filsafat adalah mengetahui hakikat-hakikat
segala sesuatu dan beramal dengan yang paling maslahat. Filsafat terbagi
menjadi dua: bagian teoritis dan bagian praksis….”
4) Logika adalah bagian
ketiga di luar dua bagian filsafat yang lain: bagian teoritis dan bagian
praksis (al-juz` al-nadharî wa al-juz` al-‘amalî)
5) Logika adalah bagian dari
ilmu teori
6) Logika hanya sebagai alat
untuk filsafat.
7) Logika adalah bagian dari
filsafat sekaligus alat untuknya.
Para Komentator Paripatetik,
seperti al-Fârâbî (353 H/ 950 M), Ibn Sînâ (428 H/1087 M) dan al-Sâwî dan para
filosof lain—terutama menurut generasi awal–, tidak dapat dipastikan pendapat
mereka tentang kepastian status logika. Al-Fârâbî menganggap logika sebagai
bagian dari filsafat seperti terbaca dalam al-Jam’ baina Ra`yi al-Hakîmain,
”Sebenarnya topik-topik filsafat dan materinya tidak keluar dari: ilâhiyyât,
thabî’iyyât, manthiqiyyât, riyâdliyyât atau siyâsiyyah.[13]”;
sebagaimana pula dalam Tahshîl al-Sa’âdah. Namun, al-Fârâbî menganggap
logika sebagai alat untuk filsafat dalam kitab al-Tanbîh ‘alâ Sabîl
al-Sa’âdah, dengan berkata:
“Karena filsafat hanya dicapai
dengan kualitas membedakan (al-tamyîz), sedangkan kualitas membedakan
ini hanya dicapai dengan kekuatan jiwa untuk mendapatkan kebenaran, maka
kekuatan jiwa harus dicapai dulu sebelum semuanya ini. Kekuatan jiwa ini hanya
dicapai tatkala kita punya kekuatan, dengannya kita mampu menyatakan itu
benar-meyakinkan sehingga kita yakini, dan dengannya kita mampu menyatakan itu
batil-meyakinkan sehingga kita jauhi…. Insting (shinâ’ah) yang
dengannnya kita dapat memanfaatkan kekuatan jiwa ini disebut sebagai insting
logika.”[14]
Ibn Sînâ, dalam salah satu rasâilnya,
menyebut logika sebagai alat untuk menghasilkan hikmah, sementara dalam kitab
yang lain, menyebutnya sebagai bagian dari filsafat. Kemudian Ibn Sînâ
menggabungkan kedua pendapatnya di atas dalam al-Syifâ` dengan
menyatakan bahwa logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya.
Yang paling masyhur di kalangan Komentator Filsafat Paripatetik-Aristotelian
adalah pendapat yang terakhir ini.[15]
II. Logika sebagai Ilmu
Teoritis (al-Shûrî) dan Ilmu Materialis (al-Mâddî)
Aristoteles sejak awal
menformulasi ilmu logika sebagai ilmu teoritis (karenanya dikenal sebagai al-manthiq
al-mu’allim*) sekaligus materialis (karenanya disebut sebagai al-manthiq
al-musta’mal*), yang keduanya berfungsi bersamaan. Yang pertama bisa
dimaknai logika teoritis murni, sementara yang kedua logika terapan.
Namun Stoicisme membatasinya
hanya sebagai logika teoritis murni. Aliran ini diamini oleh mayoritas
Komentator Muslim. Ibnu Khladun mengisyaratkan terjadinya perubahan ini seperti
terbaca dalam Muqaddimah Ibn Khaldun bahwa para logikawan generasi
belakang telah mengubah formulasi logika, dan di antara perubahan ini, [“mereka
memandang qiyas (analogi) dari sudut pandang bagaimana mencapai tujuan-tujuan
tertentu secara umum menurut teorinya saja, tanpa materialisnya (=aplikasinya).
Seraya menyingkirkan tinjauan aplikasinya ] –yakni tersirat dalam lima
kitab logika— [al-burhân, al-jadl, al-khithâbah, al-syi’r dan al-safsathah.l ”][17]
Bahkan al-Sâwi menyebut bahwa
ia hanya membatasi pembahasan logika pada metode tashawwur dan tashdîq
yang hakiki, yakni al-hadd dan al-burhân; tetapi
sekali-kai tidak akan membahas al-jadl, al-khithâbah dan al-syi’r
karena tidak dapat mengantarkan kepada keyakinan.[18]
III. Orisinalitas Organon[19]
Terjadi tambahan dan reduksi
materi dalam kitab Organon dan subjudul-subjudulnya. Sejatinya Organon
–menurut Aristoteles sendiri— memuat materi al-maqûlât, al-‘ibârah/qadhâyâ,
al-tahlîlât al-ûlâ, al-tahlîlât al-tsâniyah, al-jadl dan al-safsathah.
Namun para Komentator Paripatetik Yunani menambahkan al-syi’r dan al-khithâbah
dalam kitab Organon. Sementara para Komentator Paripatetik Alexandria
Generasi Belakang memasukkan kitab Isagoji sebagai prolog kitab Organon
itu sendiri. Praktek ini diekori saja oleh para Komentator Paripatetik Muslim.
Namun para Komentator Stoicisme
(al-riwâqiyyah) belakangan memiliki pendapat mandiri yang kontroversi
dengan dua kelompok di atas. Mereka membuang al-tahlîlât al-tsâniyah,
al-jadl, al-khithâbah, al-syi’r dan al-safsathah –yang membahas
aplikasi ilmu logika. Hal ini karena sejak semula mereka memahami logika
secara teoritis semata[20], sehingga unsur-unsur yang tidak
mencerminkan keyakinan secara teoritis harus segera disingkirkan.
IV. Silabus Logika: Tashawwur
dan Tashdîq
Silabus logika yang secara
sistematis dibagi ke dalam dua bagian besar: tashawwur dan tashdîq,
sejatinya meniru pembagian logika menurut para Komentator Muslim. Menurut
mereka, ilmu terbagi menjadi dua bagian: tashawwur dan tashdîq. Metode
yang dipakai untuk mengantarkan kepada tashawwur adalah al-hadd (=qaul
syârih, mu’arrif, definisi). Sementara metode yang dipakai untuk terminal
pada tashdîq adalah qiyâs[21] (=hujjah,
analogi, silogisme, pembuktian).[22]
Dari mana asal klasifikasi dua
bagian logika ini? Brochard menyebut bahwa klasifikasi ilmu ke dalam dua bagian
ini berasal dari Stoicisme. Namun pendapat ini ditolak oleh Dr. ‘Alî Sâmi
al-Nasysyâr dengan alasan bahwa aliran logika Stoicisme bersifat kongkret (hissî)
semata, mengingkari definisi suatu materi berdasarkan al-jins dan al-fashl.
Al-Hadd, menurut mereka, hanya sebatas paparan sifat-sifat khusus (al-shifât
al-khâshshah) bagi setiap materi kongkret. Pemahaman seperti ini kontras
dengan pemahaman model tashawwur dan tashdîq sebagaimana dipahami
oleh para Komentator Paripatetik Muslim. Aristoteles, dalam kajian lebih lanjut
dalam kitab al-nafs pasal keenam subjudul ketiga, juga memulai pembahasan
dengan klasifikasi tashawwur dan tashdîq: “Sebenarnya ilmu
terbagi menjadi dua bagian: tashawwur dan tashdîq.” Atas dasar itu, lanjut
Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, klasifikasi itu berasal dari aliran Paripatetik
murni.
Perlu diklarifikasi juga, bahwa
logika Stoicisme sejatinya juga mengenal klasifikasi ilmu ke dalam tashawwur
dan tashdîq secara formatif. Namun esensi dari klasifikasi
ini tak sama dengan yang dipahami oleh logika Paripatetik.[23]
C. Logika Filsafat Masyriq
Ibn Sînâ
Tipologisasi Masyriq dan
Maghrib versi kontemporer, berbeda dengan tipologisasi Masyriq
dan Maghrib versi Ibn Sînâ. Ibn Sînâ, dalam al-Inshâf, membagi
tipologi kelompok filosof yang berkembang pada masanya menjadi dua: Masyriqiyyin
dan Maghribiyyin. Masyriqiyyîn adalah para filosof Khurasan yang
dipresentasikan oleh Al-Balkhî, al-Âmirî, dan Ibn Sînâ. Sementara Maghribiyyîn
adalah para filosof Nashrani Baghdad, seperti Alexander Aprodice, Yahyâ
al-Nahwî, dll.
Logika Filsafat Timur yang
berkembang pada masa Ibn Sînâ merupakan sintesa campur aduk antara filsafat
Paripatetik, Alexanderisme, Platonisme dan Stoicisme. Pemikiran filsafat
Aristotelianisme yang terdapat dalam al-Syifâ` –kitab filsafat
terlengkap setebal delapan belas jilid yang memuat semua cabang filsafat yang
berkembang pada masa itu— seringkali dicampur aduk dengan pemikiran-pemikiran
filsafat lain. Atmosfer “gado-gado” ini meruyaki seluruh filosof muslim.[24]
Di antara karya-karya Ibn Sînâ
dalam bidang filsafat secara umum –termasuk di dalamnya ilmu logika— adalah
sebagai berikut: al-Syifâ` (18 jilid, berisi pokok-pokok dan cabang-cabang
filsafat), al-Najâh (berisi pokok-pokok filsafat), al-Isyârât wa
al-Tanbîhât (kitab filsafat dengan bahasa yang paling renyah di antara
kitab-kitab filsafat Ibn Sînâ yang lain), al-Lawâhiq (berisi komentar
dan penjelasan atas pokok-pokok yang terdapat dalam al-Syifâ` secara
ringkas) dan al-Falsafah al-Masyriqiyyah atau al-Hikmah
al-Masyriqiyyah (berisi tambahan yang tidak terdapat dalam al-Syifâ` terutama
yang berkaitan dengan handasah), Manthiq al-Masyriqiyyîn (ditemukan
tidak komplit, diduga merupakan bagian dari kitab-kitab di atas selain al-Syifâ`).[25]
D. Logika Filsafat
Al-Ghazâlî vis-a-vis Aristoteles
Para Teolog dan Ahli Ushul
Fikih, sebelum abad kelima Hijriyah, menolak mentah-mentah logika Aristoteles.
Di antara alasannya, karena terkait rapor merah konsep ketuhanan Aristoteles[26] –seorang penyembah dewa-dewa Yunani. Ada kekhawatiran yang
berlebih bahwa logika Aristoteles akan merusak akidah Islam.
Orang yang pertama kali
mencampurkan logika dengan ilmu-ilmu Islam –khususnya ushul fikih— adalah Abu
Hâmid al-Ghazâlî yang pernah berstatemen bahwa barangsiapa tidak menguasai
logika, ilmunya tidak dapat dipercaya (falâ tsiqah) sama sekali.[27] Campur aduk ini mendapat protes dari banyak ulama kawakan,
seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauzi, Ibn Sab’in, dll. Namun kalau
dicermati, kritikan-kritikan itu ditujukan pada konsekuensi model keberagamaan
Al-Ghazâlî saja yang terendus berbau filsafat, tidak pada pemahamannya akan
logika itu sendiri.[28]
Apakah kitab-kitab logika
al-Ghazâlî mencerminkan sikap beliau pribadi terhadap ilmu logika? Atau apakah
kitab-kitab itu ditulis hanya sebagai siasat untuk berteriak kepada dunia Islam
akan keyakinan dan keabsahan logika Aristoteles? Ataukah Al-Ghazâlî ingin
menawarkan parameter dalam menyelesaikan problematika-problematika duniawi
dengan meminjam logika Yunani?[29]
Al-Ghazâlî, dalam Maqâshid
al-Falâsifah, mengklasifikasi ilmu filsafat ke dalam empat bagian
–sebagaimana Ibn Sînâ dalam al-Syifâ`, yaitu: al-Riyâdliyyât,
al-Manthiqiyyât, al-Thabi’iyyât dan al-Ilâhiyyât.
“1) Al-Riyâdliyyât: terkait
teori hitungan dan teknik. Dalam seperangkat teori ini tidak ada yang menyalahi
akal sehat apalagi Syariat. Karena itu tak ada perlunya saya mendalami ilmu ini.
2) Al-Ilâhiyyât: kebanyakan akidah para filosof tidak benar, sedikit
sekali yang benar. 3) Al-Manthiqiyyât: kebanyakan masih
dalam rel kebenaran, sedikit sekali yang batil; permasalahan yang
diperselisihkan hanya sebatas istilah-istilah atau nomenklatur-nomenklatur,
bukan makna-makna atau tujuan-tujuan. Ilmu ini terkait dengan cara bagaimana
menyimpulkan hukum (istidlâl) dengan benar. So, antara para
pemikir Yunani dan Komentator Muslim bisa terjadi kesepakatan pendapat. 4) Al-Thabi’iyyât:
kebenaran dalam ilmu ini telah terkontaminasi dengan kebatilan (terutama
masalah sifat qidam alam), kebenaran telah terkotori kebatilan; karena
itu susah dihukumi, mana yang berpengaruh dan mana yang terpengaruh.”[30]
Faedah logika Aristotelianisme,
menurut Al-Ghazâlî, tak terbatas mengikis kebodohan dengan pengetahuan, namun
juga memberikan nilai plus berupa pembeda antara tahu dan bodoh. Pembeda antara
tahu dan bodoh maksudnya adalah mengokohkan jiwa dan menyempurnakan
kebahagiaan.[31] Pikiran semacam ini tidak didapati dalam turâts
Aristoteles. Namun ditransmisikan secara turun-temurun oleh para Komentator
Organon Generasi Belakang yang sangat dipengaruhi dengan filsafat Stoicisme.[32]
Dalam mengelaborasi logika,
Al-Ghazâlî tidak hanya memberikan tamsil-tamsil ala Yunani, namun juga
mengkombinasikan dengan tamsil-tamsil khas ushul fikih. Bahkan Al-Ghazâlî menolak pemahaman
ushul fikih yang tidak berbasis logika yang benar. Misalnya, ulama ushul fikih
pada masa itu mengatakan bahwa isim mufrad tidak bisa berfungsi istighrâq.
Namun, al-Ghazâlî berpendapat bahwa isim mufrad bisa saja berfungsi istighrâq,
bila bersambung dengan alif-lâm ta’rif dan memiliki qarînah makna
kullî. Pendapat ini terinspirasi dari konsep “umum -khusus” dan konsep
“hierarki lafadz-lafadz eksistensialis” (rutbah al-alfâdh min marâtib
al-wujûd) dalam logika. Perhatikan tamsil berikut[33]:
الدينار
افضل من الدرهم ¹ الدنانير افضل من الدراهيم Þ menurut para ulama ushul fikih, semasa Al-Ghazâlî
الدينار
افضل من الدرهم = الدنانير افضل من الدراهيم Þ menurut al-Ghazâlî berdasarkan
pertimbangan dua konsep logika di atas.
Ini semua dengan jelas
memantapkan pandangan Al-Ghazâlî bahwa logika Paripatetik-Aristotelian adalah
sah dan meyakinkan dalam mencapai suatu kebenaran. Logika merupakan suatu
perangkat universal yang bisa dipakai untuk mendekati kebenaran oleh semua juru
teori.[34]
***
Al-Ghazâlî, sebagaimana telah
disinggung di atas, membagi ilmu filsafat menjadi empat bagian: al-riyâdliyyât,
al-manthiqiyyât, al-ilâhiyyât dan al-thabî’iyyât. Objek kritik
al-Ghazâlî sejatinya hanya pada al-ilâhiyyât dan al-thabî’iyyat. Al-Riyâdliyyât
tidak al-Ghazâlî elaborasi lebih lanjut karena berada di luar proyek
kritiknya terhadap para filosof: Al-Fârâbi, Ibn Sînâ sekaligus para filosof
Yunani Klasik dan yang sepaham dengannya. Sedangkan al-manthiqiyyat al-Ghazâlî
manfaatkan tidak untuk menampakkan kesalahan-kesalahan logika para filosof,
namun untuk menjustifikasi kritik Al-Ghazâlî[35] terhadap
konsep-konsep al-Ilâhiyyât dan al-Thabî’iyyat yang terindikasi
kufur dan bid’ah menurut perspektif syarî’ah, apalagi akidah islamiah[36]
ala Sunni-Asy’arî-Sufi.[37] Al-Ghazâlî sejak awal
merasakan adanya “Tahâfut al-Falâsifah”[38] (kerancuan
para filosof) –terutama pada pasal ilâhiyyât yang bersinggungan
dengan akidah islam. “Tahâfut al-Falâsifah” ini mendorong
al-Ghazâlî untuk mengarang kitab Maqâshid al-Falâsifah sebelum kemudian
mengarang kitab Tahâfut al-Falâsifah. Karena itu Dr. Sulaiman Dunya
menyebut Maqâshid al-Falâsifah, dalam judul tahqîqannya, sebagai “Muqaddimah”[39] Tahâfut al-Falâsifah dan menyebut Mi’yar
al-‘Ilm, dalam judul tahqîqannya, sebagai Manthiq Tahâfut
al-Falâsifah.[40] So, pemahaman logika filsafat
al-Ghazâlî secara komprehensif tidak akan diperoleh kecuali setelah mempelajari
Maqâshid al-Falâsifah dan Tahâfut al-Falâsifah (khususnya pada
bagian ketiga, Mi’yar al-‘Ilm) dengan runtut.[41]
I. Logika Filsafat
Al-Ghazâlî dalam Maqâshid al-Falâsifah
Al-Ghazâlî memposisikan kitab Maqâshid
al-Falâsifah sebagai prolog atas proyek kritiknya terhadap para filosof yang
diwakili oleh Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Kitab ini memuat tiga cabang ilmu
filsafat yang secara khusus menjadi objek dalam proyek kritik Al-Ghazâlî: Al-Manthiqiyyât,
al-Ilâhiyyat, dan al-Thabî’iyyât. Ketiga cabang ini terindikasi
mengandung kesalahan atau kerancuan dengan derajat yang berbeda-beda.[42] Namun, sebagai prolog atas proyek kritik para filosof,
kitab ini hanya memaparkan materi-materi filsafat dalam ketiga cabangnya secara
ringkas, padat dan komplit, tanpa ada satu masalah pun yang dihakimi rancu atau
tidak. Materi-materi filsafat yang terindikasi mengandung kufr dan bid’ah
dalam kitab ini, dikritik habis dalam kitab lain yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah.
Ada dua faktor yang mendorong
al-Ghazâlî mengarang Maqâshid al-Falâsifah. Pertama, sebagai prolog atas
proyek kritik terhadap para filosof.[43] Al-Ghazâlî mengaku:
“Sebenarnya saya ingin
menguraikan topik yang menyadarkan dalam memblejeti kerancuan para
filosof, kontradiksi berpikir, dan rahasia pemalsuan dan tipu daya mereka.
Tentunya cita-cita itu tak akan terwujud kecuali setelah kau memahami
epistemologi dan mengetahui ideologi mereka. Karena penyelidikian atas
kebusukan suatu epistemologi sebelum menguasai segenap konsepsinya adalah
mustahil. Justru itu ibarat melempar dalam kegelapan dan kesesatan.”[44]
Kedua, untuk menangkis tuduhan
bahwa al-Ghazâlî tak benar-benar tahu filsafat yang ia kritik, seperti halnya
ulama lain sebelumnya[45] (terutama para mutakallimîn
asyâ’irah). Al-Ghazâlî menceritakan pengalamannya mengkritik sekte Bâthiniyyah:
“Dulu tersebar luas kecerdasan
sekte al-Ta’lîmiyyah dan tersiar di semua kalangan bahwa mereka mengulas
makna perkara-perkara didasarkan pada sang Imam ma’shûm yang pasti benar
dan berbuat benar. Fakta itu menggodaku untuk meneliti segenap maqâlah
mereka untuk aku kaji berdasarkan pada apa yang tertera dalam kitab-kitab
mereka. Kebetulan Khalifah memerintahkanku untuk mengarang sebuah kitab yang
dapat memblejeti esensi epistemologi sekte Ta’lîmiyyah ini. Aku
tidak bisa menolak. Hal itu menjadi faktor pendorongku dari luar, sekaligus
memperkokoh semangat dari dalam. Aku pun mulai memburu kitab-kitab mereka dan
mengoleksi maqâlah-maqâlah mereka. Aku juga mendengar kalimat-kalimat
buatan mereka yang dilahirkan oleh ide-ide masyarakat waktu itu, bukan menurut
metode yang pernah dilewati oleh pendahulu mereka. Aku koleksi kalimat-kalimat
buatan itu, dan aku susun rapi, akurat dan komplit dengan hasil riset. Lantas
aku berikan jawaban atasnya. Sehingga sebagian ahl al-haq mengingkari
keberhasilanku dalam mengukuhkan hujjah mereka, seraya berkata, “Hanya ini saja
hasil usaha mereka. Kalau bukan karena riset dan sistematisasimu, mereka tidak
akan mampu melindungi epistemologi (madzhab) mereka dari ancaman syubhât
ini.” Ingkar ini bisa jadi benar. Ahmad ibn Hanbal konon mengingkari
al-Harits al-Muhasibi yakni karangannya tentang bantahan terhadap mu’tazilah.
Al-Harits berkata, “Membantah bid’ah hukumnya wajib.” Ahmad menjawab,
“Ya, tapi syubhat mereka seyogyanya dijlentrehkan dulu, kemudian engkau
jawab.”…. Apa yang diucapkan Ahmad adalah benar. Namun, hanya dalam konteks syubhât
yang belum tersebar dan tersiar. Apabila syubhât sudah demikian
tersebar, maka mengkanter syubhât itu menjadi wajib. Hanya saja, tidak
mungkin mengkanter kecuali setelah menjlentrehkan terlebih dahulu
(berbagai pendapat mereka). Selain itu, paparan ini hendaknya tidak mekso.
Aku pun tidak mekso untuk menjawab. Bahkan sebenarnya aku sudah
mendengar syubhât itu dari salah satu rival-rivalku, setelah dulu pernah
bergabung dengan sekte mereka, dan menjiplak epistemologinya. Ia menceritakan
bahwa sekte ta’lîmiyyah itu menertawakan karangan-karangan yang
mengkanter mereka. Para pengkanter itu belum memahami hujjah mereka. Ia
menyebutkan hujjah itu dan menceritakannya tentang mereka. Aku tak rela
ia mengira aku lalai akan inti hujjah mereka, karena itu aku
memaparkannya. Meskipun telah mendengarnya, aku juga tak rela dikira belum
memahaminya, karena itu aku mengukuhkan hujjah itu. Yang jelas, aku kokohkan syubhât
mereka pada kemungkinan terjauh. Kemudian aku tampakkan kebusukannya dengan
argumen tercanggih.”[46]
‘Alâ kulli hâl, kitab Maqâshid
al-Falâsifah pantas menjadi diktat wajib bagi tiap orang yang ingin membaca
filsafat Islam. Kitab ini merupakan langkah yang padanya harus dimulai oleh
setiap pelajar filsafat. Kitab ini memberikan ringkasan yang gamblang sekaligus
dalam bagi materi filsafat Islam. Seperti halnya kitab Al-Fârâbî yang memiliki
andil besar dalam karier filsafat Ibn Sînâ.[47]
II. Logika Filsafat
Al-Ghazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah
Tahâfut al-Falâsifah merupakan
proyek utama dan tujuan sesungguhnya Al-Ghazâlî mempelajari filsafat. Ia
mengarang Maqâshid al-Falâsifah sebagai “prolog” Tahâfut al-Falâsifah.
Melihat komposisinya, Maqâshid al-Falâsifah merupakan kitab filsafat
yang merangkum pemikiran-pemikiran filososfis Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dengan
ibaroh yang tepat lagi jelas.[48] Namun, ada sedikit
perbedaan sistematika penulisan. Kalau Ibn Sînâ, dalam al-Isyârât wa
al-Tanbîhât, menggunakan sistem urutan: al-Manthiqiyyât, al-Thabî’iyyât dan
al-Ilâhiyyât; maka al-Ghazâlî, dalam Maqâshid al-Falâsifah, menggunakan
sistem urutan: al-Manthiqiyyât, al-Ilâhiyyât dan al-Thabî’iyyât; sedangkan
dalam Tahâfut al-Falâsifah, menggunakan sistem urutan: al-Ilâhiyyât,
al-Thabî’iyyât dan al-Manthiqiyyât.
Selain itu, Al-Ghazâlî juga
memisahkan al-Ilâhiyyât dengan al-Thobî’iyyât dengan tahmîd
dan sholawat seakan-akan satu sama lain merupakan disiplin ilmu yang berbeda,
sementara Ibn Sînâ menghubungkan al-Thobî’iyyât dengan al-Ilâhiyyât
dalam sepuluh subjudul (‘asyrah anmâth): tiga yang pertama al-Thobî’iyyât,
tujuh yang terakhir al-Ilâhiyyât; seakan-akan keduanya merupakan
satu, bukan dua disiplin ilmu. Dari sini bisa kita tarik dua kesimpulan yang
mengejutkan: 1) Ibn Sînâ mendahulukan al-Thabî’iyyât seolah-olah sebagai
frame untuk memahami teori-teori dalam al-Ilâhiyyât. Sedangkan
al-Ghazâlî seolah-olah tidak menyetujui al-Thobî’iyyât dijadikan prolog
memahami al-Ilâhiyyât. 2) Ibn Sînâ mengarang al-Isyârât wa
al-Tanbîhât sebagai seorang pengajar filsafat, sedangkan Al-Ghazâlî
mengarang Tahâfut al-Falâsifah sebagai seorang kritikus filsafat.[49]
Ada dua masalah al-Thobî’iyyât
yang penting yang termuat dalam kitab ini. Bahkan merupakan titik
persimpanagn antara Al-Ghazâlî di satu pihak dan Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ di
pihak lain. Yaitu: 1) Sifat qidam alam dan keabadiannya; 2) Eksistensi
materi secara mandiri atau sebab pihak lain? Dua masalah ini terkait dengan
masalah-maslah lain dalam al-Ilâhiyyât, yaitu: kekuasaan Tuhan dan
batasan irôdahNya, interpretasi surga, neraka, pahala dan siksaan
akhirat.
Dr. Sulaimân Dunyâ, dalam tahqîq
atas Tahâfut al-Falâsifah, menyimpulkan bahwa alam bersifat qidam
berlandaskan argumen bahwa: 1) tidak mungkin menciptakan sesuatu dari bukan
sesuatu; 2) tidak mungkin menjadikan sesuatu menjadi bukan sesuatu. Dua hal ini
dianggap sebagai aksioma (badîhî, kepastian mutlak). Argumen kedua
berasal dari riset empiris bahwa benda yang terbakar sejatinya tidak musnah,
namun hanya sekadar berubah bentuk dari benda padat ke benda gas disertai
energi. Sedangkan argumen pertama berasal dari analogi argumen pertama (maqîs)
terhadap empirisme argumen kedua (maqîs ‘alaih). Karena tidak mungkin
menjadikan sesuatu menjadi bukan sesuatu, maka tidak mungkin pula menciptakan
sesuatu dari bukan sesuatu.
Argumen di atas, lanjutnya,
setidaknya mengandung beberapa kontradiksi: 1) Apakah aksiomatik suatu
pernyataan itu berdasarkan riset empiris atau berdaskan analogi semata? 2)
Apakah ketidak-mungkinan di atas bersifat esensi atau hanya nisbi? Apakah
kemampuan manusia itu kongruen dengan kemampuan Tuhan sehingga ketidak-mampuan
manusia berarti ketidak-mampuan Tuhan? 3) Apakah maqîs ‘alaih dan maqîs
adalah kongruen seratus persen? Apakah melenyapkan itu kongruen dengan
menciptakan sehingga ketidak-mampuan melenyapkan sesuatu menjadi justifikasi
ketidak-mampuan menciptakan sesuatu? 4) Kalau argumen ketidak-mampuan
melenyapkan dan ketidak-mampuan mencitakan bersifat aksiomatik, mengapa
sebagian filosof Muslim mengatakan bahwa jiwa manusia itu hâdits? 5)
Jika riset empiris bahwa benda yang terbakar tidak bisa musnah adalah esensi,
lalu bagaimana bisa menghukumi sesuatu yang universal (menciptakan sesuatu)
dengan hukum yang parsial (ketidak-mungkinan melenyapkan benda walaupun
dibakar)?
Pertanyaan lain: Apakah mungkin
memadukan antara dua pernyataan berikut:
1) bahwa tidak mungkin
menciptakan sesuatu dari bukan sesuatu dan tidak mungkin menjadikan sesuatu
menjadi bukan sesuatu;
Bisakah pernyataan tadi
dipadukan dengan pernyataan berikut:
2) bahwa materi secara esensi
adalah mungkin, tidak akan ada tanpa sebab-sebab yang mendahuluinya?
Padahal bahwa materi tidak
mungkin diciptakan dari dan dibuat menjadi bukan sesuatu, berarti materi itu
bersifat wajib esensi? Jika materi diciptakan dari bukan sesuatu, mengapa
materi itu berluas tertentu dan bervolum tertentu? Apakah yang membuat materi
memiliki luas dan volum tertentu? Apakah Tuhan yang menciptakan semua ini atau
materi itu sendiri yang mengatur dirinya sendiri? Lantas, bagaimana bisa
mengkompromikan bahwa alam itu kekal di satu sisi, dan mempercayai eksistensi
Tuhan yang mengatur seluruh jagad raya di sisi yang lain[50],
seperti halnya Ibn Rusyd dan filososf yang lain?[51]
Al-Ghazâlî membantah argumen
keabadian alam versi Galinus yang berstatemen, “Andaikata matahari bisa rusak
pasti semakin lama semakin ia terlihat redup. Penilitian meteorologi, yang
memastikan ia sudah ada sejak ribuan tahun silam, tidak pernah menunjukkan
matahari kecuali seukuran seperti itu. Tidak adanya tanda-tanda redup dalam
jangka waktu yang lama ini menunjukkan bahwa matahari tidak bisa rusak.”
Al-Ghazali membantah,
“Kerancuan argumen di atas bisa ditilik dari dua sudut. Pertama, rumus argumen
ini adalah: Jika matahari bisa rusak, maka harus mengandung redup.
Karena klausa jawab tidak mungkin, maka klausa syarat juga tidak mungkin. Rumus
ini, menurut logikawan klasik, disebut analogi al-syarthî al-muttashil.
Kesimpulan ini tidak tepat, karena klausa syarat tidak benar, kecuali
dilengketi dengan syarat ekstra, menjadi: Jika matahari bisa rusak, maka
harus pernah redup. Sayangnya, klausa jawab tidak memastikan klausa syarat,
kecuali dengan tambahan syarat lagi, menjadi: Jika matahari bisa rusak
dengan adanya redup, maka ia harus redup sepanjang waktu. Ini bermakna
kerusakan matahari hanya lewat redup, sehingga klausa jawab benar-benar
memastikan klausa syarat. Kita (al-Ghazâlî) tidak bisa menerima bahwa kerusakan
matahari hanya lewat redup. Justru redup hanya satu tanda dari berbagai tanda
kerusakan. Bisa saja matahari rusak tanpa disangka-sangka walaupun nampak
sempurna.
Kedua, jika argumen di atas
diterima bahwa kerusakan hanya lewat redup, maka dari mana kita tahu kalau
matahari tidak pernah redup? Pengamatan meteorologi adalah mustahil, karena
hanya merupakan perkiraan. Padahal matahari, yang kurang lebih seratus tujuh
puluh kali lebih besar daripada bumi, andaikata berkurang (terangnya) seukuran
pegunungan, misalnya, pasti tidak akan kelihatan. Bisa jadi sekarang matahari
sudah redup sebesar pegunungan bahkan lebih, namun, pancaindera tetap tidak
dapat mengetahuinya. Karena pengukuran pancaindera terhadap objek visual hanya
lewat perkiraan. Maka sudah jelas argumen Galinus sangatlah cacat.”[52]
E. Logika Deduktif (Qiyâs),
Logika Induktif (Istiqrâ`) dan Logika Empiris (Tajribah)
Al-Ghazâlî
Konon, hanya dikenal satu jenis
logika, yakni logika deduktif (qiyâs) dengan komposisi premis mayor (muqaddimah
kubrâ), premis minor (muqaddimah sughrâ), Kesimpulan (natîjah).
Kemudian ditemukan tipologi logika baru yakni logika induktif (Istiqrâ`)
dan logika empiris (tajribah). Logikawan modern dengan sumbar mengatakan
bahwa riwayat logika klasik sudah tamat, dengan keberatan-keberatan yang
diuraikan dalam subjudul berikut. Benar, pada masa Aristoteles logika
induktif tidak sebegitu matang dibandingkan dengan logika deduktif. Namun
benih-benih logika induktif dan empiris sebenarnya sudah mulai berkecambah.
I. Logika Deduktif (Qiyâs)
Logika Deduktif dibangun atas
Premis Mayor, Premis Minor, kemudian Kesimpulan.
Manusia adalah hewan ……………………………..(Premis Mayor)
Hewan adalah raga ………………………………….(Premis Minor)
Manusia adalah raga …………………………………(Kesimpulan)
Masalah: Kalau kita
perhatikan contoh di atas: Manusia adalah hewan; sejatinya sudah bisa
diketahui bahwa manusia adalah raga, tanpa mengetengahkan hewan
adalah raga. Jika demikian, maka usaha untuk mencari kesimpulan dengan
mengetengahkan premis minor menjadi tidak berarti apapun. Karena sejak Premis
Mayor (Manusia adalah hewan) pun, sudah bisa didapat Kesimpulan (Manusia
adalah raga), karena kesimpulan itu sendiri termasuk bagian dari Premis
Mayor. Jadi Silogisme ini hanya berpusing-pusing pada hal yang sudah wajar (tahshîl
al-hâshil)?
Jawab:
1) Dr. Sulaiman Dunya dalam tahqîq
atas kitab Mi’yâr al-‘ilm berstatemen bahwa benar kalau sejak
diketahui Premis Mayor, sudah bisa diraba-raba Kesimpulan yang akan keluar.
Tapi pengetahuan atas hal itu hanya dari satu sisi (=parsial). Kalau dilengkapi
dengan mengutarakan Premis Minor, pengetahuan terhadap Kesimpulan menjadi
sempurna.
Perhatikan penjelasan di bawah
ini!
Manusia adalah hewan ……………………....(Premis
Mayor) = tashawwur bi al-fi’l
Hewan adalah raga …………………………..(Premis
Minor) = tashdîq bi al-quwwah
Manusia adalah raga ……………………………….
.(Kesimpulan) = tashdîq bi al-fi’l
2) Al-Ghazâlî berstatemen bahwa
pengetahuan akan natîjah (Kesimpulan) adalah pengetahuan ketiga di luar
pengetahuan akan dua premis: premis mayor dan minor. Jadi mengetahui kesimpulan
bukan suatu yang sia-sia.
3) Dr. Zaki Najib Mahfoudh
dalam al-Manthiq al-Hadîts berstatemen bahwa Aristoteles lebih
cenderung memandang qiyâs atas dasar ia merupakan kerja yang mampu
mendasari aktiftas burhân dalam mencari sebuah keputusan, daripada atas
dasar qiyâs mampu menghasilkan natîjah dari dua Muqaddimah yang
sudah jelas. Titik tekan di sini adalah aktifitas mendapatkan sebuah keputusan,
bukan hasil keputusan itu sendiri.[53]
II. Logika Induktif (Istiqrâ`)
Logika ini erat kaitannya
dengan logika empiris. Logika ini adalah setiap istidlâl yang bekerja
dari yang khusus menuju yang umum. Karena itu, logika induktif
mencakup metode pengambilan kesimpulan (al-istintâj al-‘ilmî) yang
terbangun dengan asas analisis dan asas observasi (tajribah).
Logika ini selalu dimulai dengan mengamati sejumlah fenomena empiris dan proses
penciptaannya dengan menggunakan metode observasi dengan kadar kritisime yang
berbeda-beda antar manusia sesuai dengan usahanya masing-masing, untuk
menghasilkan kesimpulan umum yang memayungi seluruh fenomena dan proses
penciptaan itu. Logika semacam ini akan menghasilkan pengetahuan empiris.
Sementara Aristoteles mengembangkan definisi logika induktif dengan model yang
berbeda. Ia membagi logika induktif menjadi dua: induktif-komplit (kâmil)
dan induktif-tak-komplit (nâqish). Dan menempatkan kedua model logika
induktif ini pada tempat yang berbeda.
Namun, tipologi logika induktif
ala Aristoteles tidak dapat kita samakan dengan logika induktif yang
dipaparkan di atas. Karena yang dimaksud logika induktif di sini lebih umum:
mencakup seluruh usaha menarik kesimpulan dan meramunya sehingga menghasilkan
dalil (istidlâl) dengan menganalisis gejala-gejala khusus menuju
kesimpulan umum. Padahal, logika induktif komplit yang dimaksud Aristoteles
tidak mengais-ngais fenomena dari yang khusus menuju yang umum, tapi justru
harus menghasilkan kesimpulan yang selaras dengan premis-premis sebelumnya.[54]
III. Logika Empiris (Tajribah)
Logika Empiris, konon, di
persoalkan: apakah ia akan mengahsilkan pengetahuan yang meyakinkan atau tidak?
Logika Empiris merupakan
inovasi modern yang sekarang merajai dalam hampir setiap aktifitas ilmiah.
Tidak hanya dalam horizon ilmu-ilmu alam, tapi merambah sampai ilmu sosial,
humaniora, bahkan agama.
Al-Ghazâlî –meskipun termasuk
dalam deretan logikawan besar klasik— mengisyaratkan benih-benih adanya
kemungkinan keabsahan dan keyakinan dapat diperoleh melalui metode logika
empiris. Al-Ghazâlî berstatemen dalam subjudul al-nadhar al-tsânî min kitâb
al-qiyâs, al-shinf al-tsânî: Al-Mujarrabât:
“Al-Mujarrabât dengan
menggunakan panca-indera merupakan perkara yang bisa digunakan untuk
memperoleh tashdîq dengan bantuan qiyâs khafî. Seperti fenomena:
Pukulan itu menyakitkan hewan. Air itu tawar. Api itu membakar …. Bila
fenomena-fenomena itu kembali terulang secara terus-menerus, bisa dihasilkan Kesimpulan
yang kuat dan meyakinkan-anti-keraguan atas fenomena itu. Kita tidak perlu
menyebutkan sebab dalam mendapatkan keyakinan, setelah kita tahu bahwa ia
adalah meyakinkan. Bisa jadi observasi menghasilkan output yang kuat atau
output dominan. Observasi selalu berpijak pada kekuatan analogi intrinsik (qiyâs
khafî) yang bergelut dengan fenomena-fenomena visual. Analogi itu adalah: Andaikata
fenomena-fenomena visual itu hanya kebetulan atau tiba-tiba, bukan
konvensional, pasti tidak akan terulang kembali dalam mayoritas. tanpa
diperselisihkan.”[55]
F. Logika Illuminasi (al-Isyrâqî)
al-Syaikh al-Maqtûl al-Syahîd Al-Suhrawardî
Perbedaan mendasar antara
metode logika (al-manhaj al-manthiqî) dan metode esoteris (al-manhaj
al-dzauqî) adalah bagaimana mendapatkan sebuah pengetahuan yang meyakinkan.
Metode logika Aristotelian menggunakan pisau analisis silogisme untuk
mendaptkan suatu pengetahuan yang meyakinkan. Sementara metode esoteris
mengoptimalkan kemampuan intuisi dan imajinasi esoteris untuk memetik kebenaran
yang meyakinkan. Di antara metode esoteris yaitu logika illuminasi yang
diproklamirkan oleh Al-Suhrawardî.
Al-Suhrawardî memakai standar
ganda dalam mengapresiasi logika Aristotelian. Di satu sisi menyangsikan logika
ini dalam mendapatkan kebenaran yang meyakinkan, namun di sisi lain ia
menawarkan logika lain yang tak lain merupakan ringkasan dahsyat dari logika
Aristotelian itu sendiri. Logika ini bersandar pada spirit shûfî yang
dengan percaya diri memproklamirkan bahwa logika ini adalah logika final dan
tercepat dalam mendapatkan suatu kebenaran yang meyakinkan. Ia menyebutnya al-Manthiq
al-Isyrâqî (Logika Illuminasi)
Logika Illuminasi meniscayakan Qadliyyah
al-Batât al-Dlarûrî (Keputusan Pasti Bubutan). Keniscayaan ini
diciptakan untuk menangkis prediksi-prediksi yang meleset dari silogisme
Aristotelian. Logika Illuminasi ini tidak mengenal Qadliyyah sâlibah. Semua
unsur-unsur sâlibah dilebur menjadi satu dalam wadah Qadliyyah
mûjabah. Unsur-unsur negatif dan prediksionis (al-qadlâyâ al-mumtani’ah
wa al-mumkinah), menurut Al-Suhrawardî, sama sekali tidak mampu
menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan.
Perhatikan contoh di bawah ini!
زيد
ليس هو كاتب……………………Qadliyyah
sâlibah secara wajar
زيد هو
لا كاتب …………………………….menjadi Qadliyyah
mûjibah ma’dûlah menurut Al-Suhrawardî
G. Metode Kritik Ibn Rusyd
terhadap Al-Ghazâlî
Sebagai seorang filosof yang
mengimani konsep dalil demonstratif dan konsep kepastian kausalitas, Ibnu Rusyd
mendedikasikan hidupnya demi filsafat dan berani bertempur untuk itu: ia
seorang muslim yang dengan gigih mengkritik metodologi Asy’ariyyah, kelompok
dengan pengikut muslim terbanyak di seluruh dunia hingga kini. Ia berargumen
bahwa dalil-dalil yang dikemukakan asya’ariyyah lemah, tak konsisten,
berotakkan dialektis (jadaliyyah). Sebagai gantinya, Filosof Muslim
Andalus terbesar ini tawarkan metodologi ala filosof Aristotelian: demonstrative
methodology.
Kritik besar Ibnu Rusyd,
sebagaimana paparan Dr. Atif al-Iraky dalam al-manhaj al-naqdî fî falsafah
Ibn Rusyd, dapat disederhanakan dalam simpul-simpul berikut: 1) Keimanan
Ibnu Rusyd yang mendalam terhadap dalil demonstratif sebagai satu-satunya dalil
yang “paling konsisten”, yang “paling-bisa-dipahami-umat” dan yang “paling
berkualitas”; 2) Kritiknya terhadap metodologi esoteris khas sufi. Baginya,
metodologi yang diimani sufi itu hanya khusus untuk kelompok tertentu, dengan
bakat sufiah tertentu. Kita bisa lihat, Ibnu Rusyd menginginkan pondasi-pondasi
komprehensif, premis-premis universal yang diterangi lampu rasional, yang
dengannya lebih kelihatan bedanya manusia dengan hewan sebagai “hewan yang
berpikir” (hayawân nâthiq); 3) Ibnu Rusyd membela eksistensi filsafat
dan para filosof, yang karena diserang Al-Ghazali dengan kata-kata kafir,
bid’ah dan tudingan lain, menjadi amat memprihatinkan; 4) Peran besar Ibn Rusyd
dalam mengkritik metodologi dialektis theologis (al-jadalî al-kalâmî).
Lahan kerja para theolog, menurutnya, terlalu sempit bagi seorang filosof,
sehingga harus dilewati dan kemudian masuk gerbang demonstratif yang lebih
luas. Seorang filosof, seperti Al-Ghazali, tak etis cukup berhenti di daerah
awal itu, karena lahan garapan filosof harusnya lebih luas ketimbang theolog
punya.[56]
Ibn Rusydi kerap kali
mengkritik kelompok-kelompok lain yang bersebrangan dengan ide demonstratifnya.
Ia dengan tanpa segan mengkritik kelompok Asy’ariyah, Shufiyyah, dan
Muktazilah—meskipun tak harus menolak semua pendapatnya. Kritikannya buat
Asy’ariyah itu secara tidak langsung juga kritikan buat Al-Ghazali. Karena kita
tahu, bagaimanapun juga, ia seorang Asy’ari. Jadi, apa yang diyakini kelompok
Asya’irah, secara tidak langsung juga keyakinan Al-Ghazali.
Dalam subjudul ini, hanya akan
dibatasi pada tiga pokok permasalahan yang dijadikan bukti oleh al-Ghazâlî
untuk mengkafirkan para filosof secara masif.
I. Azaliyyah al-‘Âlam
Kelompok Asya’irah – yang
Al-Ghazali yakini – mengajukan dua dalil untuk membuktikan keberadaan Allah: 1)
dalil al-hudûts 2) dalil al-mumkin wa al-wâjib. Kelompok ini
yakin bahwa alam itu baru (hadits) dengan dasar bahwa alam terdiri dari
partikel-partikel yang pada akhirnya tidak dapat terbagi lagi (jawâhir
fardah: atom). Dengan adanya batas ini (tidak dapat dibagi lagi),
maka atom adalah baru. Karena itu alam – yang komposisinya adalah atom – adalah
baru juga. Kalau alam ini baru, maka harus ada sang Pencipta baru: Allah. Kita
lihat, inti pendapat mereka ini berdasar pada keyakinan bahwa atom punya batas:
ia suatu ketika juga tak mampu lagi terbagi.
Alam – dengan seluruh komposisi
dan apa yang ada di dalamnya: langit, bumi, tumbuhan, hewan, manusia dan
semuanya – bila demikian, merupakan ciptaan baru yang bersumber dari Sang Awal,
setelah sebelumnya bukan apa-apa: bukan dzat, bukan atom, bukan sifat.
Dalilnya adalah bahwa seluruh
alam ini bisa berubah-ubah sifat, kadang begini dan kadang begitu. Ini berarti,
dari tarik ulur sifat-sifat yang saling bertentangan itu, ada yang “batal” dan
ada yang “terjadi”. Yang terjadi, tentunya ia baru secara pasti bahkan empirik,
sehingga tak perlu lagi ada pembuktian (istidlâl). Adapun yang batal,
maka dengan batalnya itu menunjukkan kalau ia “baru” (hadits), bukan
“lama” (qadim). Karena yang lama tak bisa batal. Dengan tetapnya bukti
bahwa sifat-sifat alam itu baru, menunjukkan bahwa ia diciptakan. Otomatis,
alam itu juga diciptakan, karena sifat dan mausuf tidak bisa dipisahkan.[57]
Di antara ayat Quran yang
menurut mereka menjustifikasi dalil “baru” di atas adalah sebagai berikut:
{ان فى خلق السموات والأرض واختلاف
الليل والنهاروالفلك التى تجرى فى البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء
من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها وبث فيها من كل دابة وتصريف الرياح والسحاب
المسخر بين السماء والأرض لأيات لقوم يعقلون}البقرة: 163
ال عمران: 190{ ان فى خلق السموات والأرض واختلاف الليل
والنهار لأيات لأولي الألباب}
Ibn Rusyd meskipun meyakini
keberadaan Allah, namun di sisi lain mengkritik dalil hudûts yang
digunakan Al-Ghazâlî untuk mengkafirkan para filosof. Kritikan ini berdasar
pada keyakinan yang mendalam adanya hukum kausalitas (sabab-musabbab).
Para Mutakallimîn meyakini
bahwa:
Alam adalah
berubah
Setiap yang
berubah adalah hâdits
Jadi, alam
adalah hâdits
Qiyâs semacam ini berasal dari qiyâs lain
sebagai berikut:
1) Jauhar
tidak bisa terbebas dari ‘ardl
2) ‘Ardl
adalah hadits
3) Jadi,
apa saja yang tidak bisa lepas dari yang hadits adalah hadits
Ibn Rusyd mengkritik bahwa jika dikatakan bahwa alam
itu muhdits, maka harus ada pelaku yang muhdits pula. Dan preposisi
ini meragukan. Karena kita tidak mampu membuat muhdits menjadi azalî,
tidak pula muhdits. Muhdits bisa disebut muhdits karena ia
membutuhkan muhdits lain. Muhdits ini membutuhkan muhdits lain
sampai tidak terhingga. Dan perkara semacam itu, secara alami, adalah mustahil.
Ibn Rusyd juga mengkritk qiyâs kedua sebagai
berikut:
1) Premis seperti di atas tidak benar, kecuali jika jauhar
adalah raga yang mandiri –sebagaimana raga yang diyakini Ibn Rusyd. Adapun bila
yang dimaksud dengan jauhar di atas adalah bagian raga saja –sebagaimana
dipahami mutakallimîn, maka bagian raga ini tidak bisa dikatakan
benar-benar ada secara meyakinkan. Karena bagaimana kita tahu ada Jauhar yang
tidak dapat terbagi. Dan ini semua meragukan.
2) Premis kedua –yang ditopang dengan asas ‘ardl adalah
hadits– juga abstrak dan tidak meyakinkan. Karena tidak mungkin
kita mampu menyaksikan partikel-partikel terkecil secara langsung kemudian
menghukuminya. Artinya, premis kedua ini dibangun atas dasar menganalogikan
alam fisik dengan alam gaib (qiyâs al-syâhid ‘ala al-ghâib).
3) Karena premis pertama dan kedua tidak meyakinkan,
maka runtuhlah Kesimpulan dari qiyâs di atas.[58]
Dalil lain yang Asyâirah buat membuktikan keberadaan
Allah adalah dalil mumkin-wâjib. Kelompok yang dipeluk oleh mayoritas
muslim di seluruh dunia sampai sekarang ini membagi wujud (eksistensi) menjadi
dua bagian: mungkin (mumkin) dan pasti (dlarûrî, wâjib).
Bagian mungkin adalah tidak mandiri, karena itu butuh subjek. Kalau alam ini
adalah mungkin, maka sang Subjek (baca: Pencipta) tentu wajib adalah sifatnya.
Ini berarti inti dari pemahaman Asyâ’irah pada dalil di atas adalah dikotomi
eksistensi menjadi dua: mungkin dan pasti.
Sekilasmemang tampak begitu tepat dan sederhana dalil
“mungkin-pasti” ala Asyâ’irah ini. Tapi, jangan heran, Ibnu Rusydi,
lagi-lagi, tidak sepakat: ia ungkap dua premis yang membentuk dalil di atas,
kemudian ia robohkan satu per satu untuk kemudian ia bangun dalil baru yang
lebih demonstratif-rasionalis.
Menurut Ibnu Rusydi, dalil “mungkin-pasti” ala Asyâ’irah
yang lalu dibangun di atas dua premis:
1) Bahwa alam seisinya – yang bekerja menurut sistem
tertentu — bisa saja “sumbang”: bekerja tak sesuai sistem alam. Kita, jika
memang demikian, dengan mudah bisa berfantasi: api bisa “terbang” ke bawah,
meskipun partikelnya ringan; batu mungkin “jatuh” ke atas, walaupun terbuat
dari tanah yang berat partikelnya.
Ibnu Rusydi merobohkan premis di atas dengan
menyatakan bahwa premis di atas tidak meyakinkan, karena dibangun di atas nalar
khithâbiyyah, bukan demonstratif (burhâniyyah). Bila mengamati
alam sekitar, kita akan tahu kebohongan itu: ternyata di sana ada sistem
“tetap-terpelihara” (al-‘inâyah wa al-ghâiyyah) dan koneksi antara satu
eksistensi dengan eksistensi lain. Realitas ini, tentunya, menyalahi “fantasi”
Asyâirah bahwa alam bisa juga “sumbang”, karena toh hanya berstatus
mungkin, tidak pasti.
2) Sesuatu yang mungkin adalah
baru, dan ia punya subjek: sang “konseptor” yang memilihnya dari kemungkinan
lain. Ibnu Rusydi tidak menyetujui premis ini. Ia kritik bahwa premis semacam
ini meragukan, tak mencerminkan keyakinan dan tak jelas. Karena tidak ada bukti
pasti, bagi Asyâ’irah, akan kemungkinan adanya kehendak baru (irâdah
hâditsah) dalam wujud lama (maujûd qadîm). Pendapat itu bisa muncul
karena mereka percaya pada konsep “apa-yang-selalu-berubah-adalah baru”, tanpa
kritisisme.
II. Ilmu Allah tidak
Menjangkau Juziyyât
Dalam hal ini, Ibnu Rusydi
memiliki persamaan dan perbedaan dengan Asyâ’irah secara umum dan dengan
Al-Ghazali secara khusus. Persamaan, karena kedua belah pihak sama-sama
mengakui adanya sifat ‘ilm bagi Allah. Perbedaan, karena metode
penetapan sifat ‘ilm bagi Allah yang diterapkan Ibnu Rusydi berbeda
dengan apa yang diterapkan oleh Al-Ghazali bahkan Asyâirah. Sebagaimana sudah
sering disinggung di atas, Ibnu Rusydi tak mengakui metode selain metode
demonstratif. Dengan alasan, metode-metode lain: metode khithâbiyyah, metode
shufiyyah; tidak mencerminkan keyakinan yang bisa diterima seluruh
kalangan. Metode itu hanya berlaku pada ruang-waktu tertentu dan bagi kelompok
tertentu. Ibnu Rusydi, seperti pula dengan yang lalu, memaparkan dalil yang
dikemukakan Al-Ghazali, ia robohkan sendiri, kemudian ia bangun metode baru
yang lebih demonstratif
Al-Ghazâlî mengkafirkan para
filosof yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui juziyyât, seperti
Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Ia mengatakan bahwa para filosof sepakat bahwa Tuhan
hanya mengetahui dirinya sendiri. Tuhan mengetahui segala sesuatu secara
universal, bukan secara partikular. Karenanya, ilmu Tuhan terletak di luar
perubahan zaman dan perbedaan tempat. Padahal tak ada aktivitas satu biji atom
pun, baik itu di langit dan di bumi, yang luput dari “intaian” ilmu Tuhan.[59]
Ibnu Rusydi mengkritik pendapat
ini dan menjelaskan bahwa apa yang dipahami Al-Ghazali tidak seperti apa yang
dipahamai para filosof. Kalau ilmu manusia terpengaruh dengan ada tidaknya
eksistensi-eksistensi, maka sebaliknya, ilmu Allah tidak terpengaruh dengan hal
itu. Ilmu Allah tidak bisa diukur dengan ilmu manusia. Jika Allah mengetahui juziyyât
maka pengetahuan itu tentunya bersifat potensi (al-quwwah), sebagai
respon antisipatif atas juziyyât yang jumlahnya tak terbatas. Padahal
ilmu Allah tidak bisa disifati secara potensial atau kinetik (bi al-fi’l).
Dalilnya adalah bahwa Allah
merupakan adalah sebab segala sesuatu ada (Dia sebagai‘illah), dan
segala sesuatu itu ada disebabkan oleh Dia (makhluk sebagai ma’lûl)
Karena jadi sebab, Allah tak mungkin terpengaruh dengan ciptaan-Nya sendiri.
Karena itu ilmu Allah tak ada kaitannya dengan partikularitas, bahkan
universalitas. Karena dua terma itu hanya berlaku bagi manusia, dan
dianalogikan untuk manusia semata. Sehingga ilmu Allah tak mengenal
partikularitas bahkan universalitas ala manusia. Intinya, ilmu Allah
harus benar-benar dibedakan dengan ilmu manusia. Dan ini adalah teologi
tertinggi (ghâyah al-tanzîh) akan eksistensi ilmu Allah, yang dengannya
Dia jadi sang Maha Beda.[60]
III. Tidak ada Kebangkitan
Jasad setelah Mati
Al-Ghazâlî mengkafirkan para
filosof yang tidak mempercayai kebangkitan jasad setelah mati. Keyakinan
Al-Ghazali ini lekat sekali dengan background dia sebagai seorang
asy’ari tulen. Keyakinan Asyâ’irah dibangun berdasarkan interpretasi
konvensional atas teks-teks Qur`an dan Hadits yang menggambarkan hal-ihwal
kebangkitan jasad dari kubur seperti halnya orang bangun dari tidur.
Ibn Rusyd mentakwil bahwa yang
dimaksud dengan kebangkitan jasad dari kubur dalam teks Qur`an dan Hadits
hanyalah kebangkitan ruh saja. Karena tidak mungkin jasad yang sudah hancur
dapat kembali utuh lagi setelah dikoyak, dicerai-beraikan dan diurai oleh
cacing dan bakteri pengurai.
H. Penutup
Makalah ini hanya segelintir
usaha untuk menghidupkan kembali ingatan kita akan logika-logika dan ide-ide
genial Al-Ghazali yang menuai banyak pro dan kontra hingga abad millennium dan
abad saling kritik ini.
Endnotes:
[1]
(450-505 H/1058-1111 M)
[2] Terjadi silang pendapat mengenai status ilmu logika
terhadap ilmu filsafat. Hal ini terjadi karena Aristoteles, sebagai the
Founding Father of Logic, tidak menyebut secara tegas status ilmu ini.
Setidaknya ada 7 kelompok dalam masalah ini: 1) Logika hanya sebagai prolog
untuk filsafat, bukan bagian darinya; 2) Logika adalah bagian dari filsafat; 3)
Logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya; 4) Logika adalah
bagian ketiga di luar dua bagian filsafat yang lain: bagian teori dan bagian
praksis (al-juz` al-nadharî wa al-juz` al-‘amalî); 5) Logika adalah
bagian dari ilmu teori; 6) Logika hanya sebagai alat untuk filsafat; 7) Logika
adalah bagian dari filsafat sekaligus alat untuknya. Yang paling masyhur di
kalangan komentator filsafat paripatetik (=Aristotelianisme) adalah pendapat ketiga.
Disarikan dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, Manâhij al-Bahts ‘ind Mufakkiri
al-Islâm wa Iktisyâf al-Manhaj al-‘Ilmî fî al-‘Âlam al-Islâmi, Kairo: Dar
Al-Salam, cet. I, 2008, h. 22-25.
[3]
Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid., h. 9.
[4] Al-Syahrostani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar
Ibn Hazm, cet. I, 2005, h. 33. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid,
h. 9-10.
[5] Al-Suyûthî, Shoun al-Manthiq wa al-Kalâm ‘an Fannai
al-Mantiq wa al-Kalâm. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit.,
h. 10.
[6] Al-Syirôzî, Al-Asfâr al-Arba’ah. Dinukil dari Dr.
‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, hal. 10.
[7] Ayahnya, ‘Abdullah al-Muqaffa’, sekretaris Abi Ja’far
Al-Manshur (136-157 H/753-775 M), seringkali dianggap sebagai penerjemah awal
tiga kitab manthiq Aristoteles: قاطيغورياس, بارى
ارمنياس , serta انالوطيقا الاولى
dan ايساغوجى.
Namun, Craus berstatemen bahwa sang penerjemah adalah anaknya, Muhammad ibn
‘Abdullah al-Muqaffa’. Sementara Dr. ‘Alî Sâmî al-Nasysyâr berpendapat bahwa
Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqaffa’ hanya meringkas terjemahan kitab-kitab
manthiq Aristoteles tersebut–bukan menerjemah—kemudian terjemahan aslinya
hilang. Sehingga Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqaffa’ dianggap telah
menerjemahkannya, bukan meringkasnya. Lihat Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid,
hal. 11-12.
[8] Wafat antara 321-329 H. Ibn Abi Ushoiba’ah menyebut bahwa
ia wafat di Baghdad pada 11 Ramadlan 328 H/Juni 940 M. Lihat footnote Dr.
‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, hal. 13.
[9] John Sellars dalam Stoicism, dinukil dari: www.wikipedia.com index stoicism.
[10] Dr. ‘Alî Sâmî
Nasysyâr, op. cit., h. 27.
[11] Ibid, h. 27.
[12] Ibid., h. 22, dengan menukil pendapatnya al-Ustâdz
al-Syaikh Musthafâ ‘Abd al-Râziq dalam al-Tamhîd li al-Falsafah
al-Islâmiyyah.
[13] Al-Fârâbî, al-Jam’ bain al-Hakîmain, tahq: Dr. ‘Alî
bû Malham, Beirut: Dâr wa Maktabah al-Hilâl, cet. I, 1996, h. 29. Lihat
juga Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid., h. 23.
[14] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 24, dengan
menukil statemen al-Fârâbî dalam al-Tanbîh ‘alâ Sabîl al-Sa’âdah.
[15] Ibid., h. 25.
* Nomenklatur ini menurut al-Bânayawî البانيوى. Dinukil dari Dr.’Alî Sâmî Nasysyâr, ibid.,
h. 25.
[16] Safsathah (Shopisme) adalah logika atas dasar error
dan trik-trik tipuan dengan tujuan untuk memutar-balik fakta.
[17] Muqaddimah Ibn Kholdûn. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmi
al-Nasysyâr, op. cit., h. 25.
[18] Lihat Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, ibid., h. 25
[19] Master Piecenya Aristoteles dalam ilmu logika.
[20] Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, op. cit., h. 26.
[21] Bedakan antara Qiyâs Ushûlî dan Qiyâs Falsafî!!
[22] Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, op. cit., h. 26.
[23] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 27.
[24] Ibn Sînâ, al-Syifâ`: al-Manthiq, Kairo: Wizârah
al-Ma’arif, al-‘Umûmiyyah, tashdir: Dr. Taha Husein Bâsyâ, murâja’ah:
Dr. Ibrahim Madkûr, tahqiq: al-Ab Qanwâtî, Mahmûd al-Khudlairî, Fuâd
al-Ihwani, h. 17.
[25] Ibid., h. 17-21.
[26] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 139.
[27] Al-Ghazâlî , al-Mustashfâ, tahq: Dr. Hamzah ibn
Zuhair Hâfidh, h. 30.
[28] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 133.
[29] Ibid., h. 133-134.
[30] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, tahq: Dr.
Sulaimân Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1961, h. 12 & 31-32.
[31] Ibid., h. 35-36. Disarikan oleh Dr. ‘Alî Sâmî
Nasysyâr, op. cit., h. 134.
[32] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 134
[33] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, tahq: Dr. Sulaimân
Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, h. 75-77.
[34] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit, h. 134.
[35] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h.
10.
[36] Ibid., h. 11.
[37] Dr. Atif al-Iraky, al-Manhaj al-Naqdî fî falsafah Ibn
Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1995, cet. III, h. 25.
[38] Nomenklatur “Tahâfut al-Falâsifah” sebenarnya
pernah al-Ghazâlî singgung dalam Maqâshid al-Falâsifah, bahkan sebelum
mengarang kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah. Lihat al-Ghazâlî
, Maqâshid al-Falâsifah, op.cit., h. 31, 32, 17 & 385.
[39] Tanda petik (“…”) pada “Muqaddimah” Tahâfut
al-Falâsifah berfaedah sebagai penjelas bahwa fungsi kitab Maqâshid
al-Falâsifah seolah-olah seperti Muqaddimah (=prolog) atas kitab Tahâfut
al-Falâsifah, bukan Muqaddimah secara hakiki. Karena itu, tanda
petik tidak dipakai pada nomenklatur berikutnya, Manthiq Tahâfut
al-Falâsifah, karena manthiq ini sejatinya merupakan bagian
ketiga dari kitab Tahâfut al-Falâsifah, yang pada periode belakangan
dicetak tanpa bagian ketiga tersebut. Bagian ketiga ini kemudian masyhur dengan
sebutan miyâr al-‘ilm. Lihat Al-Ghazâlî , Tahâfut al-Falâsifah, tahq:
Dr. Sulaimân Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. III, 1957, h. 84-85, pada Muqaddimah
Râbi’ah. Bandingkan dengan Al-Ghazâlî, Mi’yâr al-‘ilm, op.cit., h.
14-19 dan footnote h. 191; serta al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah,
op. cit., h. 17.
[40] Lihat al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit.,
h. 3. Bandingkan dengan al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, ibid., h. 3.
[41] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, ibid., h. 31.
Lihat juga al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, ibid., h. 17.
[42] Lihat h. 4.
[43] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h.
23.
[44] Ibid., h. 20 & 31.
[45] Ibid., h. 23.
[46] Al-Ghazâlî, Majmû’ah rasâil al-Imâm al-Ghazâlî ,
takhrij: Ahmad Syams al-Dîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Âmmah, cet. I, 1988,
h. 49. Lihat juga Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h.
21-22.
[47] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h.
24.
[48] Ibid., h. 24.
[49] Al-Ghazâlî, Mi’yâr al-‘Ilm, op. cit., h. 10-11.
[50] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h.
8-12.
[51] Dr. Atif al-Iraky, op. cit., h. 40. Bandingkan juga
al-Ghazâlî, ibid., h. 12.
[52] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h.
13-15 & 126-127.
[53] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, op. cit., h. 36-38.
[54] Muhammad Bâqir al-Shadr, al-Usas al-Manthiqiyyah li
al-Istiqrâ`, Beirut: Dar al-Ta’âruf li al-Mathbû’ât, 1986, cet. V, h.
13-14.
[55] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, op. cit., h. 42.
[56] Dr. Atif al-Iraky, op. cit., h. 13.
[57] Ibid., h. 40-41 dengan menukil karya
al-Asfarayaini, Al-Tabshîr fî al-Dîn, h. 135.
[58] Ibid., h. 39-44.
[59] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h. 206.
[60] Dr. Atif al-Iraky, al-Manhaj al-Naqdî fî falsafah Ibn
Rusyd, op. cit., h. 64-70.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar