Jumat, 24 Mei 2013

Logika Filsafat Al-Ghazâlî

A. Prolog
Logika Aristotelianisme; dari Yunani menuju Dunia Islam
Menentukan dengan pasti permulaan masuknya ilmu filsafat dan sains Yunani, sejatinya sangat rumit, karena para sejarawan tergesa-gesa menunjuk masa Abbasiyah sebagai titik tolak transformasi pemikiran filsafat Yunani ke dalam dunia Islam melalui proses penerjemahan. Para sejarawan sepakat bahwa turâts kefilsafatan Yunani yang pertama kali dipelajari Muslim adalah logika (Manthiq). Hal ini, karena logika[2] setidaknya adalah prolog untuk filsafat itu sendiri. Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr dalam Manâhij al-Bahts ‘ind Mufakkiri al-Islâm Islâm wa Iktisyâf al-Manhaj al-‘Ilmî fî al-‘Âlam al-Islâmî, sepakat dengan hal yang terakhir (=logika sebagai warisan intelektual Yunani pertama yang dipelajari muslimin). Namun beliau tidak menutup mata akan aktifitas transformasi khazanah intelektual Yunani –termasuk di antaranya logika– yang terjadi pra dinasti Abbasiyah, yakni masa dinasti Umawiyyah (132-140 H/661-750 M), bahkan, lebih spesifik, pada awal pertumbuhannya. Karena negara-negara Mesir, Syam, bahkan Irak dan Persi yang ditaklukkan imperium Bani Umayyah sudah terpengaruh spirit Hellenisme sehingga akulturasi kreatif antara dua peradaban ini tak bisa dielakkan lagi. Akulturasi kreatif ini juga didorong oleh beberapa faktor intern peradaban Islam sendiri.
Menurut Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr faktor terpenting akulturasi kreatif antara peradaban Islam dan Hellenisme adalah sy’iar konsep taswiyah (egalitarianisme) antara muslimin, baik Arab maupun Ajam (Lâ fadll li ‘arobî ‘alâ ‘ajamî illâ bi-al-taqwâ ), yang menurut penulis sangat reformatik dibandingkan dengan agama-agama lain yang mengenal “strata-strata bangsa” secara global. Ini yang mendorong jamak bangsa taklukkan –yang tentunya memiliki potongan-, kesamaan-, perbedaan-, silang-, atau bahkan, saling-tubrukan-peradaban-dan-kebudayaan-yang-berbeda, serta juga pengaruh Hellenisme— berbondong-bondong memeluk Islam. Secara historisisme, Islam sejak awal pertumbuhannya begitu inklusif, bahkan berinteraksi secara aktif dengan pengaruh impor. Sejarah berkata bahwa salah seorang khalifah Umawiyyah tersentak ketika mengetahui bahwa banyak muhadditsîn dan fuqahâ` pada zaman itu memiliki banyak mawâlî (budak asal Persi).[3]
Perkenalan dengan khazanah intelektual Yunani, pada gilirannya, tak bisa dihindari muslimin (meskipun menurut Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, mereka tak mengambil sepenuhnya unsur-unsur itu). Tak heran sebagian sejarawan-periode-awal pemikiran teologi Islam, seperti Al-Syahrastani (w. 548 H), menyebut bahwa para Teolog muslim awal, seperti para kolega Washil ibn ‘Atho` (133 H/728 M), juga mengkaji kitab-kitab filsafat sebelum tenggelam dalam teologi Mu’tazilah.[4]
Alâ kulli hâl, transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam sudah terjadi pada masa Bani Umawiyyah dengan bukti-bukti, di antaranya:
[if !supportLists]--1. Riwayat Ibn Katsir bahwa ilmu-ilmu klasik (filsafat Yunani) sudah masuk dunia Islam pada kurun pertama hijriyah ketika terjadi ekspansi di negara-negara Ajam, meskipun belum begitu tersebar dan meruyak karena Ulama salaf melarang mendalaminya.[5]
[if !supportLists]--2. Nukilan Shadr al-Dîn al-Syirâzi (Mullâ Shadrâ) dari Muthârahâtnya Al-Suhrawardî, bahwa sudah dikenal nama-nama Yunani dalam kitab-kitab klasik Arab, sehingga banyak yang menyangka setiap nama dari Yunani pasti nama seorang filosof.[6]
Dari bukti-bukti manuskrip di atas, terlihat jelas bahwa transformasi filsafat Yunani ke dunia Islam sudah terjadi pada kurun pertama Hijriyah, kemudian diteruskan pada masa Abbasiyah (113-656 H/750-1258 M).
Di antara tokoh yang berperan dalam penerjemahan dan atau peringkasan kitab-kitab logika Aristoteles ke dalam bahasa Arab, yaitu: Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqoffa’ (139 H)[7], Abu Nuh, Penjaga Bait al-Hikmah [semasa dengan Al-Makmun (198-217 H/813-833 M)] –dua yang terakhir beragama Nashrani dari Syiria–, Hunain ibn Ishaq (l. 194 H/909 M; w. 264 H/977 M), Abu Basysyar Mattâ ibn Yunus[8], ‘Abd al-Masih ibn Nâ’imah al-Hamshî, Yahya ibn ‘Adî (w. 264 H/975 M) –yang terakhir terkenal dengan sebutan Al-Manthiqî (Si Ahli Logika), di antaranya, karena terjemahan manthiqnya yang keren–, dan seterusnya.
Terdapat tiga inklinasi logika yang masuk dunia Islam: aliran Paripatetik (al-Masyâiyyah), aliran Stoicisme (al-Riwâqiyyah) dan aliran Neo Platonisme. Aliran Paripatetik adalah kelompok pengikut Aristoteles yang mengedepankan logika sebagai ilmu teoritis (al-shûrî) dan materialis (al-mâddî) sekaligus. Sayangnya aliran ini sudah tercampur dengan unsur-unsur Neo Platonisme, terutama di selain kawasan Andalus, seperti kawasan masyriq. Inklinasi campuran ini dikembangkan oleh para filosof muslim besar, seperti Al-Kindî, Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ (kemudian dua yang terakhir dikritik oleh Al-Ghazâlî). Adapun Stoicisme merupakan aliran filsafat Hellenisme yang dibangun di Athena oleh Zeno of Citium pada 300 SM. Para Stoics (sebutan untuk para pengikut aliran Stoicisme) menganggap bahwa timbulnya emosi hawa nafsu disebabkan oleh kesalahan peradilan dan pelaku peradilannya. Mereka percaya bahwa indikasi kecenderungan filsafat seseorang bukan tercermin dari apa yang diucapkan, tetapi dari apa yang dilakukan. Karena itu mereka menjadikan alirannya sebagai way of life.[9] Logika aliran ini hanya percaya pada hal-hal kongkret (al-hissî) dan mengingkari definisi suatu materi berdasarkan al-jins dan al-fashl.[10] Sementara aliran Neo Platonisme merupakan aliran Platonisme yang ditafsirkan kembali oleh para Komentator Kristen Alexandria di Mesir.[11] Ketiga inklinasi aliran ini dalam kenyataannya saling bercampur-aduk satu sama lain.
B. Garis Besar Logika Klasik
Secara garis besar, perkembangan ilmu logika mengalami tiga fase: 1) fase formatif klasik masa Yunani yang dipandegani oleh Aristoteles (aliran Paripatetik-Aristotelian), dikanter oleh Zeno of Citium (Aliran Stoicisme), dan pengaruh warisan Plato (istidlâl bi-al-qismah al-aflâthûniyyah); 2) fase komentar, kontroversi dan inovasi para Komentator Muslim; 3) inovasi peradaban Barat. Bab ini hanya akan menyinggung poin pertama dan kedua secara global. Secara global, terdapat empat pembahasan logika sebagai berikut:
I. Status Ilmu Logika [populer di kalangan para Komentator Muslim (al-Syurrâh al-Islamiyyîn), namun tak populer dalam turâts Aristoteles]
Terjadi silang pendapat mengenai status ilmu logika terhadap ilmu filsafat. Hal ini terjadi karena Aristoteles, sebagai the Founding Father of Logic, tidak menjuluki secara tegas status ilmu ini. Setidaknya ada tujuh pendapat dalam masalah ini. Satu sampai tiga pertama sebagai pokok, sisanya sebagai cabang darinya:
1) Logika hanya sebagai prolog untuk filsafat, bukan bagian darinya. Benar bahwa Aristoteles tidak menyebut status ilmu ini secara tegas. Namun riset lebih lanjut terhadap turâts Aristoteles yang dilakukan oleh para sejarawan menyatakan bahwa Aristoteles cenderung menganggap logika sebagai prolog untuk filsafat, bukan bagian darinya.[12]
2) Logika adalah bagian dari filsafat. Para Stoics menganggap logika sebagai bagian dari hikmah. Sedangkan hikmah terbagai menjadi tiga bagian: al-thabî’î, al-jadl, al-akhlâq. Sedangkan al-jadl adalah logika.
3) Logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya. Para Komentator Alexandria tidak mau pusing dalam perdebatan ini. Mereka mengkompromikan kedua pendapat di atas. Mereka menganggap bahwa logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya. Al-Khawârizmî (387 H/977 M) dalam Mafâtîh al-’Ulûm mengilustrasikan perdebatan ini, “Al-Falsafah merupakan derivasi dari kata Yunani, philasophya, yang bermakna mencintai hikmah. Ketika diarabkan menjadi failasûf. Kemudian filsafat diderivasikan dari kata yang sudah diarabkan ini. Makna filsafat adalah mengetahui hakikat-hakikat segala sesuatu dan beramal dengan yang paling maslahat. Filsafat terbagi menjadi dua: bagian teoritis dan bagian praksis….”
4) Logika adalah bagian ketiga di luar dua bagian filsafat yang lain: bagian teoritis dan bagian praksis (al-juz` al-nadharî wa al-juz` al-‘amalî)
5) Logika adalah bagian dari ilmu teori
6) Logika hanya sebagai alat untuk filsafat.
7) Logika adalah bagian dari filsafat sekaligus alat untuknya.
Para Komentator Paripatetik, seperti al-Fârâbî (353 H/ 950 M), Ibn Sînâ (428 H/1087 M) dan al-Sâwî dan para filosof lain—terutama menurut generasi awal–, tidak dapat dipastikan pendapat mereka tentang kepastian status logika. Al-Fârâbî menganggap logika sebagai bagian dari filsafat seperti terbaca dalam al-Jam’ baina Ra`yi al-Hakîmain, ”Sebenarnya topik-topik filsafat dan materinya tidak keluar dari: ilâhiyyât, thabî’iyyât, manthiqiyyât, riyâdliyyât atau siyâsiyyah.[13]”; sebagaimana pula dalam Tahshîl al-Sa’âdah. Namun, al-Fârâbî menganggap logika sebagai alat untuk filsafat dalam kitab al-Tanbîh ‘alâ Sabîl al-Sa’âdah, dengan berkata:
“Karena filsafat hanya dicapai dengan kualitas membedakan (al-tamyîz), sedangkan kualitas membedakan ini hanya dicapai dengan kekuatan jiwa untuk mendapatkan kebenaran, maka kekuatan jiwa harus dicapai dulu sebelum semuanya ini. Kekuatan jiwa ini hanya dicapai tatkala kita punya kekuatan, dengannya kita mampu menyatakan itu benar-meyakinkan sehingga kita yakini, dan dengannya kita mampu menyatakan itu batil-meyakinkan sehingga kita jauhi…. Insting (shinâ’ah) yang dengannnya kita dapat memanfaatkan kekuatan jiwa ini disebut sebagai insting logika.”[14]
Ibn Sînâ, dalam salah satu rasâilnya, menyebut logika sebagai alat untuk menghasilkan hikmah, sementara dalam kitab yang lain, menyebutnya sebagai bagian dari filsafat. Kemudian Ibn Sînâ menggabungkan kedua pendapatnya di atas dalam al-Syifâ` dengan menyatakan bahwa logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya. Yang paling masyhur di kalangan Komentator Filsafat Paripatetik-Aristotelian adalah pendapat yang terakhir ini.[15]
II. Logika sebagai Ilmu Teoritis (al-Shûrî) dan Ilmu Materialis (al-Mâddî)
Aristoteles sejak awal menformulasi ilmu logika sebagai ilmu teoritis (karenanya dikenal sebagai al-manthiq al-mu’allim*) sekaligus materialis (karenanya disebut sebagai al-manthiq al-musta’mal*), yang keduanya berfungsi bersamaan. Yang pertama bisa dimaknai logika teoritis murni, sementara yang kedua logika terapan.
Namun Stoicisme membatasinya hanya sebagai logika teoritis murni. Aliran ini diamini oleh mayoritas Komentator Muslim. Ibnu Khladun mengisyaratkan terjadinya perubahan ini seperti terbaca dalam Muqaddimah Ibn Khaldun bahwa para logikawan generasi belakang telah mengubah formulasi logika, dan di antara perubahan ini, [“mereka memandang qiyas (analogi) dari sudut pandang bagaimana mencapai tujuan-tujuan tertentu secara umum menurut teorinya saja, tanpa materialisnya (=aplikasinya). Seraya menyingkirkan tinjauan aplikasinya ] –yakni tersirat dalam lima kitab logika— [al-burhân, al-jadl, al-khithâbah, al-syi’r dan al-safsathah.l ][17]
Bahkan al-Sâwi menyebut bahwa ia hanya membatasi pembahasan logika pada metode tashawwur dan tashdîq yang hakiki, yakni al-hadd dan al-burhân; tetapi sekali-kai tidak akan membahas al-jadl, al-khithâbah dan al-syi’r karena tidak dapat mengantarkan kepada keyakinan.[18]
III. Orisinalitas Organon[19]
Terjadi tambahan dan reduksi materi dalam kitab Organon dan subjudul-subjudulnya. Sejatinya Organon –menurut Aristoteles sendiri— memuat materi al-maqûlât, al-‘ibârah/qadhâyâ, al-tahlîlât al-ûlâ, al-tahlîlât al-tsâniyah, al-jadl dan al-safsathah. Namun para Komentator Paripatetik Yunani menambahkan al-syi’r dan al-khithâbah dalam kitab Organon. Sementara para Komentator Paripatetik Alexandria Generasi Belakang memasukkan kitab Isagoji sebagai prolog kitab Organon itu sendiri. Praktek ini diekori saja oleh para Komentator Paripatetik Muslim.
Namun para Komentator Stoicisme (al-riwâqiyyah) belakangan memiliki pendapat mandiri yang kontroversi dengan dua kelompok di atas. Mereka membuang al-tahlîlât al-tsâniyah, al-jadl, al-khithâbah, al-syi’r dan al-safsathah –yang membahas aplikasi ilmu logika. Hal ini karena sejak semula mereka memahami logika secara teoritis semata[20], sehingga unsur-unsur yang tidak mencerminkan keyakinan secara teoritis harus segera disingkirkan.
IV. Silabus Logika: Tashawwur dan Tashdîq
Silabus logika yang secara sistematis dibagi ke dalam dua bagian besar: tashawwur dan tashdîq, sejatinya meniru pembagian logika menurut para Komentator Muslim. Menurut mereka, ilmu terbagi menjadi dua bagian: tashawwur dan tashdîq. Metode yang dipakai untuk mengantarkan kepada tashawwur adalah al-hadd (=qaul syârih, mu’arrif, definisi). Sementara metode yang dipakai untuk terminal pada tashdîq adalah qiyâs[21] (=hujjah, analogi, silogisme, pembuktian).[22]
Dari mana asal klasifikasi dua bagian logika ini? Brochard menyebut bahwa klasifikasi ilmu ke dalam dua bagian ini berasal dari Stoicisme. Namun pendapat ini ditolak oleh Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr dengan alasan bahwa aliran logika Stoicisme bersifat kongkret (hissî) semata, mengingkari definisi suatu materi berdasarkan al-jins dan al-fashl. Al-Hadd, menurut mereka, hanya sebatas paparan sifat-sifat khusus (al-shifât al-khâshshah) bagi setiap materi kongkret. Pemahaman seperti ini kontras dengan pemahaman model tashawwur dan tashdîq sebagaimana dipahami oleh para Komentator Paripatetik Muslim. Aristoteles, dalam kajian lebih lanjut dalam kitab al-nafs pasal keenam subjudul ketiga, juga memulai pembahasan dengan klasifikasi tashawwur dan tashdîq: “Sebenarnya ilmu terbagi menjadi dua bagian: tashawwur dan tashdîq.” Atas dasar itu, lanjut Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, klasifikasi itu berasal dari aliran Paripatetik murni.
Perlu diklarifikasi juga, bahwa logika Stoicisme sejatinya juga mengenal klasifikasi ilmu ke dalam tashawwur dan tashdîq secara formatif. Namun esensi dari klasifikasi ini tak sama dengan yang dipahami oleh logika Paripatetik.[23]
C. Logika Filsafat Masyriq Ibn Sînâ
Tipologisasi Masyriq dan Maghrib versi kontemporer, berbeda dengan tipologisasi Masyriq dan Maghrib versi Ibn Sînâ. Ibn Sînâ, dalam al-Inshâf, membagi tipologi kelompok filosof yang berkembang pada masanya menjadi dua: Masyriqiyyin dan Maghribiyyin. Masyriqiyyîn adalah para filosof Khurasan yang dipresentasikan oleh Al-Balkhî, al-Âmirî, dan Ibn Sînâ. Sementara Maghribiyyîn adalah para filosof Nashrani Baghdad, seperti Alexander Aprodice, Yahyâ al-Nahwî, dll.
Logika Filsafat Timur yang berkembang pada masa Ibn Sînâ merupakan sintesa campur aduk antara filsafat Paripatetik, Alexanderisme, Platonisme dan Stoicisme. Pemikiran filsafat Aristotelianisme yang terdapat dalam al-Syifâ` –kitab filsafat terlengkap setebal delapan belas jilid yang memuat semua cabang filsafat yang berkembang pada masa itu— seringkali dicampur aduk dengan pemikiran-pemikiran filsafat lain. Atmosfer “gado-gado” ini meruyaki seluruh filosof muslim.[24]
Di antara karya-karya Ibn Sînâ dalam bidang filsafat secara umum –termasuk di dalamnya ilmu logika— adalah sebagai berikut: al-Syifâ` (18 jilid, berisi pokok-pokok dan cabang-cabang filsafat), al-Najâh (berisi pokok-pokok filsafat), al-Isyârât wa al-Tanbîhât (kitab filsafat dengan bahasa yang paling renyah di antara kitab-kitab filsafat Ibn Sînâ yang lain), al-Lawâhiq (berisi komentar dan penjelasan atas pokok-pokok yang terdapat dalam al-Syifâ` secara ringkas) dan al-Falsafah al-Masyriqiyyah atau al-Hikmah al-Masyriqiyyah (berisi tambahan yang tidak terdapat dalam al-Syifâ` terutama yang berkaitan dengan handasah), Manthiq al-Masyriqiyyîn (ditemukan tidak komplit, diduga merupakan bagian dari kitab-kitab di atas selain al-Syifâ`).[25]
D. Logika Filsafat Al-Ghazâlî vis-a-vis Aristoteles
Para Teolog dan Ahli Ushul Fikih, sebelum abad kelima Hijriyah, menolak mentah-mentah logika Aristoteles. Di antara alasannya, karena terkait rapor merah konsep ketuhanan Aristoteles[26] –seorang penyembah dewa-dewa Yunani. Ada kekhawatiran yang berlebih bahwa logika Aristoteles akan merusak akidah Islam.
Orang yang pertama kali mencampurkan logika dengan ilmu-ilmu Islam –khususnya ushul fikih— adalah Abu Hâmid al-Ghazâlî yang pernah berstatemen bahwa barangsiapa tidak menguasai logika, ilmunya tidak dapat dipercaya (falâ tsiqah) sama sekali.[27] Campur aduk ini mendapat protes dari banyak ulama kawakan, seperti Ibn Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jauzi, Ibn Sab’in, dll. Namun kalau dicermati, kritikan-kritikan itu ditujukan pada konsekuensi model keberagamaan Al-Ghazâlî saja yang terendus berbau filsafat, tidak pada pemahamannya akan logika itu sendiri.[28]
Apakah kitab-kitab logika al-Ghazâlî mencerminkan sikap beliau pribadi terhadap ilmu logika? Atau apakah kitab-kitab itu ditulis hanya sebagai siasat untuk berteriak kepada dunia Islam akan keyakinan dan keabsahan logika Aristoteles? Ataukah Al-Ghazâlî ingin menawarkan parameter dalam menyelesaikan problematika-problematika duniawi dengan meminjam logika Yunani?[29]
Al-Ghazâlî, dalam Maqâshid al-Falâsifah, mengklasifikasi ilmu filsafat ke dalam empat bagian –sebagaimana Ibn Sînâ dalam al-Syifâ`, yaitu: al-Riyâdliyyât, al-Manthiqiyyât, al-Thabi’iyyât dan al-Ilâhiyyât.
“1) Al-Riyâdliyyât: terkait teori hitungan dan teknik. Dalam seperangkat teori ini tidak ada yang menyalahi akal sehat apalagi Syariat. Karena itu tak ada perlunya saya mendalami ilmu ini. 2) Al-Ilâhiyyât: kebanyakan akidah para filosof tidak benar, sedikit sekali yang benar. 3) Al-Manthiqiyyât: kebanyakan masih dalam rel kebenaran, sedikit sekali yang batil; permasalahan yang diperselisihkan hanya sebatas istilah-istilah atau nomenklatur-nomenklatur, bukan makna-makna atau tujuan-tujuan. Ilmu ini terkait dengan cara bagaimana menyimpulkan hukum (istidlâl) dengan benar. So, antara para pemikir Yunani dan Komentator Muslim bisa terjadi kesepakatan pendapat. 4) Al-Thabi’iyyât: kebenaran dalam ilmu ini telah terkontaminasi dengan kebatilan (terutama masalah sifat qidam alam), kebenaran telah terkotori kebatilan; karena itu susah dihukumi, mana yang berpengaruh dan mana yang terpengaruh.”[30]
Faedah logika Aristotelianisme, menurut Al-Ghazâlî, tak terbatas mengikis kebodohan dengan pengetahuan, namun juga memberikan nilai plus berupa pembeda antara tahu dan bodoh. Pembeda antara tahu dan bodoh maksudnya adalah mengokohkan jiwa dan menyempurnakan kebahagiaan.[31] Pikiran semacam ini tidak didapati dalam turâts Aristoteles. Namun ditransmisikan secara turun-temurun oleh para Komentator Organon Generasi Belakang yang sangat dipengaruhi dengan filsafat Stoicisme.[32]
Dalam mengelaborasi logika, Al-Ghazâlî tidak hanya memberikan tamsil-tamsil ala Yunani, namun juga mengkombinasikan dengan tamsil-tamsil khas ushul fikih. Bahkan Al-Ghazâlî menolak pemahaman ushul fikih yang tidak berbasis logika yang benar. Misalnya, ulama ushul fikih pada masa itu mengatakan bahwa isim mufrad tidak bisa berfungsi istighrâq. Namun, al-Ghazâlî berpendapat bahwa isim mufrad bisa saja berfungsi istighrâq, bila bersambung dengan alif-lâm ta’rif dan memiliki qarînah makna kullî. Pendapat ini terinspirasi dari konsep “umum -khusus” dan konsep “hierarki lafadz-lafadz eksistensialis” (rutbah al-alfâdh min marâtib al-wujûd) dalam logika. Perhatikan tamsil berikut[33]:
الدينار افضل من الدرهم ¹ الدنانير افضل من الدراهيم Þ menurut para ulama ushul fikih, semasa Al-Ghazâlî
الدينار افضل من الدرهم = الدنانير افضل من الدراهيم Þ menurut al-Ghazâlî berdasarkan pertimbangan dua konsep logika di atas.
Ini semua dengan jelas memantapkan pandangan Al-Ghazâlî bahwa logika Paripatetik-Aristotelian adalah sah dan meyakinkan dalam mencapai suatu kebenaran. Logika merupakan suatu perangkat universal yang bisa dipakai untuk mendekati kebenaran oleh semua juru teori.[34]
***
Al-Ghazâlî, sebagaimana telah disinggung di atas, membagi ilmu filsafat menjadi empat bagian: al-riyâdliyyât, al-manthiqiyyât, al-ilâhiyyât dan al-thabî’iyyât. Objek kritik al-Ghazâlî sejatinya hanya pada al-ilâhiyyât dan al-thabî’iyyat. Al-Riyâdliyyât tidak al-Ghazâlî elaborasi lebih lanjut karena berada di luar proyek kritiknya terhadap para filosof: Al-Fârâbi, Ibn Sînâ sekaligus para filosof Yunani Klasik dan yang sepaham dengannya. Sedangkan al-manthiqiyyat al-Ghazâlî manfaatkan tidak untuk menampakkan kesalahan-kesalahan logika para filosof, namun untuk menjustifikasi kritik Al-Ghazâlî[35] terhadap konsep-konsep al-Ilâhiyyât dan al-Thabî’iyyat yang terindikasi kufur dan bid’ah menurut perspektif syarî’ah, apalagi akidah islamiah[36] ala Sunni-Asy’arî-Sufi.[37] Al-Ghazâlî sejak awal merasakan adanya “Tahâfut al-Falâsifah”[38] (kerancuan para filosof) –terutama pada pasal ilâhiyyât yang bersinggungan dengan akidah islam.Tahâfut al-Falâsifah” ini mendorong al-Ghazâlî untuk mengarang kitab Maqâshid al-Falâsifah sebelum kemudian mengarang kitab Tahâfut al-Falâsifah. Karena itu Dr. Sulaiman Dunya menyebut Maqâshid al-Falâsifah, dalam judul tahqîqannya, sebagai “Muqaddimah”[39] Tahâfut al-Falâsifah dan menyebut Mi’yar al-‘Ilm, dalam judul tahqîqannya, sebagai Manthiq Tahâfut al-Falâsifah.[40] So, pemahaman logika filsafat al-Ghazâlî secara komprehensif tidak akan diperoleh kecuali setelah mempelajari Maqâshid al-Falâsifah dan Tahâfut al-Falâsifah (khususnya pada bagian ketiga, Mi’yar al-‘Ilm) dengan runtut.[41]
I. Logika Filsafat Al-Ghazâlî dalam Maqâshid al-Falâsifah
Al-Ghazâlî memposisikan kitab Maqâshid al-Falâsifah sebagai prolog atas proyek kritiknya terhadap para filosof yang diwakili oleh Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Kitab ini memuat tiga cabang ilmu filsafat yang secara khusus menjadi objek dalam proyek kritik Al-Ghazâlî: Al-Manthiqiyyât, al-Ilâhiyyat, dan al-Thabî’iyyât. Ketiga cabang ini terindikasi mengandung kesalahan atau kerancuan dengan derajat yang berbeda-beda.[42] Namun, sebagai prolog atas proyek kritik para filosof, kitab ini hanya memaparkan materi-materi filsafat dalam ketiga cabangnya secara ringkas, padat dan komplit, tanpa ada satu masalah pun yang dihakimi rancu atau tidak. Materi-materi filsafat yang terindikasi mengandung kufr dan bid’ah dalam kitab ini, dikritik habis dalam kitab lain yang berjudul Tahâfut al-Falâsifah.
Ada dua faktor yang mendorong al-Ghazâlî mengarang Maqâshid al-Falâsifah. Pertama, sebagai prolog atas proyek kritik terhadap para filosof.[43] Al-Ghazâlî mengaku:
“Sebenarnya saya ingin menguraikan topik yang menyadarkan dalam memblejeti kerancuan para filosof, kontradiksi berpikir, dan rahasia pemalsuan dan tipu daya mereka. Tentunya cita-cita itu tak akan terwujud kecuali setelah kau memahami epistemologi dan mengetahui ideologi mereka. Karena penyelidikian atas kebusukan suatu epistemologi sebelum menguasai segenap konsepsinya adalah mustahil. Justru itu ibarat melempar dalam kegelapan dan kesesatan.”[44]
Kedua, untuk menangkis tuduhan bahwa al-Ghazâlî tak benar-benar tahu filsafat yang ia kritik, seperti halnya ulama lain sebelumnya[45] (terutama para mutakallimîn asyâ’irah). Al-Ghazâlî menceritakan pengalamannya mengkritik sekte Bâthiniyyah:
“Dulu tersebar luas kecerdasan sekte al-Ta’lîmiyyah dan tersiar di semua kalangan bahwa mereka mengulas makna perkara-perkara didasarkan pada sang Imam ma’shûm yang pasti benar dan berbuat benar. Fakta itu menggodaku untuk meneliti segenap maqâlah mereka untuk aku kaji berdasarkan pada apa yang tertera dalam kitab-kitab mereka. Kebetulan Khalifah memerintahkanku untuk mengarang sebuah kitab yang dapat memblejeti esensi epistemologi sekte Ta’lîmiyyah ini. Aku tidak bisa menolak. Hal itu menjadi faktor pendorongku dari luar, sekaligus memperkokoh semangat dari dalam. Aku pun mulai memburu kitab-kitab mereka dan mengoleksi maqâlah-maqâlah mereka. Aku juga mendengar kalimat-kalimat buatan mereka yang dilahirkan oleh ide-ide masyarakat waktu itu, bukan menurut metode yang pernah dilewati oleh pendahulu mereka. Aku koleksi kalimat-kalimat buatan itu, dan aku susun rapi, akurat dan komplit dengan hasil riset. Lantas aku berikan jawaban atasnya. Sehingga sebagian ahl al-haq mengingkari keberhasilanku dalam mengukuhkan hujjah mereka, seraya berkata, “Hanya ini saja hasil usaha mereka. Kalau bukan karena riset dan sistematisasimu, mereka tidak akan mampu melindungi epistemologi (madzhab) mereka dari ancaman syubhât ini.” Ingkar ini bisa jadi benar. Ahmad ibn Hanbal konon mengingkari al-Harits al-Muhasibi yakni karangannya tentang bantahan terhadap mu’tazilah. Al-Harits berkata, “Membantah bid’ah hukumnya wajib.” Ahmad menjawab, “Ya, tapi syubhat mereka seyogyanya dijlentrehkan dulu, kemudian engkau jawab.”…. Apa yang diucapkan Ahmad adalah benar. Namun, hanya dalam konteks syubhât yang belum tersebar dan tersiar. Apabila syubhât sudah demikian tersebar, maka mengkanter syubhât itu menjadi wajib. Hanya saja, tidak mungkin mengkanter kecuali setelah menjlentrehkan terlebih dahulu (berbagai pendapat mereka). Selain itu, paparan ini hendaknya tidak mekso. Aku pun tidak mekso untuk menjawab. Bahkan sebenarnya aku sudah mendengar syubhât itu dari salah satu rival-rivalku, setelah dulu pernah bergabung dengan sekte mereka, dan menjiplak epistemologinya. Ia menceritakan bahwa sekte ta’lîmiyyah itu menertawakan karangan-karangan yang mengkanter mereka. Para pengkanter itu belum memahami hujjah mereka. Ia menyebutkan hujjah itu dan menceritakannya tentang mereka. Aku tak rela ia mengira aku lalai akan inti hujjah mereka, karena itu aku memaparkannya. Meskipun telah mendengarnya, aku juga tak rela dikira belum memahaminya, karena itu aku mengukuhkan hujjah itu. Yang jelas, aku kokohkan syubhât mereka pada kemungkinan terjauh. Kemudian aku tampakkan kebusukannya dengan argumen tercanggih.”[46]
‘Alâ kulli hâl, kitab Maqâshid al-Falâsifah pantas menjadi diktat wajib bagi tiap orang yang ingin membaca filsafat Islam. Kitab ini merupakan langkah yang padanya harus dimulai oleh setiap pelajar filsafat. Kitab ini memberikan ringkasan yang gamblang sekaligus dalam bagi materi filsafat Islam. Seperti halnya kitab Al-Fârâbî yang memiliki andil besar dalam karier filsafat Ibn Sînâ.[47]
II. Logika Filsafat Al-Ghazâlî dalam Tahâfut al-Falâsifah
Tahâfut al-Falâsifah merupakan proyek utama dan tujuan sesungguhnya Al-Ghazâlî mempelajari filsafat. Ia mengarang Maqâshid al-Falâsifah sebagai “prolog” Tahâfut al-Falâsifah. Melihat komposisinya, Maqâshid al-Falâsifah merupakan kitab filsafat yang merangkum pemikiran-pemikiran filososfis Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ dengan ibaroh yang tepat lagi jelas.[48] Namun, ada sedikit perbedaan sistematika penulisan. Kalau Ibn Sînâ, dalam al-Isyârât wa al-Tanbîhât, menggunakan sistem urutan: al-Manthiqiyyât, al-Thabî’iyyât dan al-Ilâhiyyât; maka al-Ghazâlî, dalam Maqâshid al-Falâsifah, menggunakan sistem urutan: al-Manthiqiyyât, al-Ilâhiyyât dan al-Thabî’iyyât; sedangkan dalam Tahâfut al-Falâsifah, menggunakan sistem urutan: al-Ilâhiyyât, al-Thabî’iyyât dan al-Manthiqiyyât.
Selain itu, Al-Ghazâlî juga memisahkan al-Ilâhiyyât dengan al-Thobî’iyyât dengan tahmîd dan sholawat seakan-akan satu sama lain merupakan disiplin ilmu yang berbeda, sementara Ibn Sînâ menghubungkan al-Thobî’iyyât dengan al-Ilâhiyyât dalam sepuluh subjudul (‘asyrah anmâth): tiga yang pertama al-Thobî’iyyât, tujuh yang terakhir al-Ilâhiyyât; seakan-akan keduanya merupakan satu, bukan dua disiplin ilmu. Dari sini bisa kita tarik dua kesimpulan yang mengejutkan: 1) Ibn Sînâ mendahulukan al-Thabî’iyyât seolah-olah sebagai frame untuk memahami teori-teori dalam al-Ilâhiyyât. Sedangkan al-Ghazâlî seolah-olah tidak menyetujui al-Thobî’iyyât dijadikan prolog memahami al-Ilâhiyyât. 2) Ibn Sînâ mengarang al-Isyârât wa al-Tanbîhât sebagai seorang pengajar filsafat, sedangkan Al-Ghazâlî mengarang Tahâfut al-Falâsifah sebagai seorang kritikus filsafat.[49]
Ada dua masalah al-Thobî’iyyât yang penting yang termuat dalam kitab ini. Bahkan merupakan titik persimpanagn antara Al-Ghazâlî di satu pihak dan Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ di pihak lain. Yaitu: 1) Sifat qidam alam dan keabadiannya; 2) Eksistensi materi secara mandiri atau sebab pihak lain? Dua masalah ini terkait dengan masalah-maslah lain dalam al-Ilâhiyyât, yaitu: kekuasaan Tuhan dan batasan irôdahNya, interpretasi surga, neraka, pahala dan siksaan akhirat.
Dr. Sulaimân Dunyâ, dalam tahqîq atas Tahâfut al-Falâsifah, menyimpulkan bahwa alam bersifat qidam berlandaskan argumen bahwa: 1) tidak mungkin menciptakan sesuatu dari bukan sesuatu; 2) tidak mungkin menjadikan sesuatu menjadi bukan sesuatu. Dua hal ini dianggap sebagai aksioma (badîhî, kepastian mutlak). Argumen kedua berasal dari riset empiris bahwa benda yang terbakar sejatinya tidak musnah, namun hanya sekadar berubah bentuk dari benda padat ke benda gas disertai energi. Sedangkan argumen pertama berasal dari analogi argumen pertama (maqîs) terhadap empirisme argumen kedua (maqîs ‘alaih). Karena tidak mungkin menjadikan sesuatu menjadi bukan sesuatu, maka tidak mungkin pula menciptakan sesuatu dari bukan sesuatu.
Argumen di atas, lanjutnya, setidaknya mengandung beberapa kontradiksi: 1) Apakah aksiomatik suatu pernyataan itu berdasarkan riset empiris atau berdaskan analogi semata? 2) Apakah ketidak-mungkinan di atas bersifat esensi atau hanya nisbi? Apakah kemampuan manusia itu kongruen dengan kemampuan Tuhan sehingga ketidak-mampuan manusia berarti ketidak-mampuan Tuhan? 3) Apakah maqîs ‘alaih dan maqîs adalah kongruen seratus persen? Apakah melenyapkan itu kongruen dengan menciptakan sehingga ketidak-mampuan melenyapkan sesuatu menjadi justifikasi ketidak-mampuan menciptakan sesuatu? 4) Kalau argumen ketidak-mampuan melenyapkan dan ketidak-mampuan mencitakan bersifat aksiomatik, mengapa sebagian filosof Muslim mengatakan bahwa jiwa manusia itu hâdits? 5) Jika riset empiris bahwa benda yang terbakar tidak bisa musnah adalah esensi, lalu bagaimana bisa menghukumi sesuatu yang universal (menciptakan sesuatu) dengan hukum yang parsial (ketidak-mungkinan melenyapkan benda walaupun dibakar)?
Pertanyaan lain: Apakah mungkin memadukan antara dua pernyataan berikut:
1) bahwa tidak mungkin menciptakan sesuatu dari bukan sesuatu dan tidak mungkin menjadikan sesuatu menjadi bukan sesuatu;
Bisakah pernyataan tadi dipadukan dengan pernyataan berikut:
2) bahwa materi secara esensi adalah mungkin, tidak akan ada tanpa sebab-sebab yang mendahuluinya?
Padahal bahwa materi tidak mungkin diciptakan dari dan dibuat menjadi bukan sesuatu, berarti materi itu bersifat wajib esensi? Jika materi diciptakan dari bukan sesuatu, mengapa materi itu berluas tertentu dan bervolum tertentu? Apakah yang membuat materi memiliki luas dan volum tertentu? Apakah Tuhan yang menciptakan semua ini atau materi itu sendiri yang mengatur dirinya sendiri? Lantas, bagaimana bisa mengkompromikan bahwa alam itu kekal di satu sisi, dan mempercayai eksistensi Tuhan yang mengatur seluruh jagad raya di sisi yang lain[50], seperti halnya Ibn Rusyd dan filososf yang lain?[51]
Al-Ghazâlî membantah argumen keabadian alam versi Galinus yang berstatemen, “Andaikata matahari bisa rusak pasti semakin lama semakin ia terlihat redup. Penilitian meteorologi, yang memastikan ia sudah ada sejak ribuan tahun silam, tidak pernah menunjukkan matahari kecuali seukuran seperti itu. Tidak adanya tanda-tanda redup dalam jangka waktu yang lama ini menunjukkan bahwa matahari tidak bisa rusak.”
Al-Ghazali membantah, “Kerancuan argumen di atas bisa ditilik dari dua sudut. Pertama, rumus argumen ini adalah: Jika matahari bisa rusak, maka harus mengandung redup. Karena klausa jawab tidak mungkin, maka klausa syarat juga tidak mungkin. Rumus ini, menurut logikawan klasik, disebut analogi al-syarthî al-muttashil. Kesimpulan ini tidak tepat, karena klausa syarat tidak benar, kecuali dilengketi dengan syarat ekstra, menjadi: Jika matahari bisa rusak, maka harus pernah redup. Sayangnya, klausa jawab tidak memastikan klausa syarat, kecuali dengan tambahan syarat lagi, menjadi: Jika matahari bisa rusak dengan adanya redup, maka ia harus redup sepanjang waktu. Ini bermakna kerusakan matahari hanya lewat redup, sehingga klausa jawab benar-benar memastikan klausa syarat. Kita (al-Ghazâlî) tidak bisa menerima bahwa kerusakan matahari hanya lewat redup. Justru redup hanya satu tanda dari berbagai tanda kerusakan. Bisa saja matahari rusak tanpa disangka-sangka walaupun nampak sempurna.
Kedua, jika argumen di atas diterima bahwa kerusakan hanya lewat redup, maka dari mana kita tahu kalau matahari tidak pernah redup? Pengamatan meteorologi adalah mustahil, karena hanya merupakan perkiraan. Padahal matahari, yang kurang lebih seratus tujuh puluh kali lebih besar daripada bumi, andaikata berkurang (terangnya) seukuran pegunungan, misalnya, pasti tidak akan kelihatan. Bisa jadi sekarang matahari sudah redup sebesar pegunungan bahkan lebih, namun, pancaindera tetap tidak dapat mengetahuinya. Karena pengukuran pancaindera terhadap objek visual hanya lewat perkiraan. Maka sudah jelas argumen Galinus sangatlah cacat.”[52]
E. Logika Deduktif (Qiyâs), Logika Induktif (Istiqrâ`) dan Logika Empiris (Tajribah) Al-Ghazâlî
Konon, hanya dikenal satu jenis logika, yakni logika deduktif (qiyâs) dengan komposisi premis mayor (muqaddimah kubrâ), premis minor (muqaddimah sughrâ), Kesimpulan (natîjah). Kemudian ditemukan tipologi logika baru yakni logika induktif (Istiqrâ`) dan logika empiris (tajribah). Logikawan modern dengan sumbar mengatakan bahwa riwayat logika klasik sudah tamat, dengan keberatan-keberatan yang diuraikan dalam subjudul berikut. Benar, pada masa Aristoteles logika induktif tidak sebegitu matang dibandingkan dengan logika deduktif. Namun benih-benih logika induktif dan empiris sebenarnya sudah mulai berkecambah.
I. Logika Deduktif (Qiyâs)
Logika Deduktif dibangun atas Premis Mayor, Premis Minor, kemudian Kesimpulan.
Manusia adalah hewan ……………………………..(Premis Mayor)
Hewan adalah raga ………………………………….(Premis Minor)
Manusia adalah raga …………………………………(Kesimpulan)
Masalah: Kalau kita perhatikan contoh di atas: Manusia adalah hewan; sejatinya sudah bisa diketahui bahwa manusia adalah raga, tanpa mengetengahkan hewan adalah raga. Jika demikian, maka usaha untuk mencari kesimpulan dengan mengetengahkan premis minor menjadi tidak berarti apapun. Karena sejak Premis Mayor (Manusia adalah hewan) pun, sudah bisa didapat Kesimpulan (Manusia adalah raga), karena kesimpulan itu sendiri termasuk bagian dari Premis Mayor. Jadi Silogisme ini hanya berpusing-pusing pada hal yang sudah wajar (tahshîl al-hâshil)?
Jawab:
1) Dr. Sulaiman Dunya dalam tahqîq atas kitab Mi’yâr al-‘ilm berstatemen bahwa benar kalau sejak diketahui Premis Mayor, sudah bisa diraba-raba Kesimpulan yang akan keluar. Tapi pengetahuan atas hal itu hanya dari satu sisi (=parsial). Kalau dilengkapi dengan mengutarakan Premis Minor, pengetahuan terhadap Kesimpulan menjadi sempurna.
Perhatikan penjelasan di bawah ini!
Manusia adalah hewan ……………………....(Premis Mayor) = tashawwur bi al-fi’l
Hewan adalah raga …………………………..(Premis Minor) = tashdîq bi al-quwwah
Manusia adalah raga ………………………………. .(Kesimpulan) = tashdîq bi al-fi’l
2) Al-Ghazâlî berstatemen bahwa pengetahuan akan natîjah (Kesimpulan) adalah pengetahuan ketiga di luar pengetahuan akan dua premis: premis mayor dan minor. Jadi mengetahui kesimpulan bukan suatu yang sia-sia.
3) Dr. Zaki Najib Mahfoudh dalam al-Manthiq al-Hadîts berstatemen bahwa Aristoteles lebih cenderung memandang qiyâs atas dasar ia merupakan kerja yang mampu mendasari aktiftas burhân dalam mencari sebuah keputusan, daripada atas dasar qiyâs mampu menghasilkan natîjah dari dua Muqaddimah yang sudah jelas. Titik tekan di sini adalah aktifitas mendapatkan sebuah keputusan, bukan hasil keputusan itu sendiri.[53]
II. Logika Induktif (Istiqrâ`)
Logika ini erat kaitannya dengan logika empiris. Logika ini adalah setiap istidlâl yang bekerja dari yang khusus menuju yang umum. Karena itu, logika induktif mencakup metode pengambilan kesimpulan (al-istintâj al-‘ilmî) yang terbangun dengan asas analisis dan asas observasi (tajribah). Logika ini selalu dimulai dengan mengamati sejumlah fenomena empiris dan proses penciptaannya dengan menggunakan metode observasi dengan kadar kritisime yang berbeda-beda antar manusia sesuai dengan usahanya masing-masing, untuk menghasilkan kesimpulan umum yang memayungi seluruh fenomena dan proses penciptaan itu. Logika semacam ini akan menghasilkan pengetahuan empiris. Sementara Aristoteles mengembangkan definisi logika induktif dengan model yang berbeda. Ia membagi logika induktif menjadi dua: induktif-komplit (kâmil) dan induktif-tak-komplit (nâqish). Dan menempatkan kedua model logika induktif ini pada tempat yang berbeda.
Namun, tipologi logika induktif ala Aristoteles tidak dapat kita samakan dengan logika induktif yang dipaparkan di atas. Karena yang dimaksud logika induktif di sini lebih umum: mencakup seluruh usaha menarik kesimpulan dan meramunya sehingga menghasilkan dalil (istidlâl) dengan menganalisis gejala-gejala khusus menuju kesimpulan umum. Padahal, logika induktif komplit yang dimaksud Aristoteles tidak mengais-ngais fenomena dari yang khusus menuju yang umum, tapi justru harus menghasilkan kesimpulan yang selaras dengan premis-premis sebelumnya.[54]
III. Logika Empiris (Tajribah)
Logika Empiris, konon, di persoalkan: apakah ia akan mengahsilkan pengetahuan yang meyakinkan atau tidak?
Logika Empiris merupakan inovasi modern yang sekarang merajai dalam hampir setiap aktifitas ilmiah. Tidak hanya dalam horizon ilmu-ilmu alam, tapi merambah sampai ilmu sosial, humaniora, bahkan agama.
Al-Ghazâlî –meskipun termasuk dalam deretan logikawan besar klasik— mengisyaratkan benih-benih adanya kemungkinan keabsahan dan keyakinan dapat diperoleh melalui metode logika empiris. Al-Ghazâlî berstatemen dalam subjudul al-nadhar al-tsânî min kitâb al-qiyâs, al-shinf al-tsânî: Al-Mujarrabât:
Al-Mujarrabât dengan menggunakan panca-indera merupakan perkara yang bisa digunakan untuk memperoleh tashdîq dengan bantuan qiyâs khafî. Seperti fenomena: Pukulan itu menyakitkan hewan. Air itu tawar. Api itu membakar …. Bila fenomena-fenomena itu kembali terulang secara terus-menerus, bisa dihasilkan Kesimpulan yang kuat dan meyakinkan-anti-keraguan atas fenomena itu. Kita tidak perlu menyebutkan sebab dalam mendapatkan keyakinan, setelah kita tahu bahwa ia adalah meyakinkan. Bisa jadi observasi menghasilkan output yang kuat atau output dominan. Observasi selalu berpijak pada kekuatan analogi intrinsik (qiyâs khafî) yang bergelut dengan fenomena-fenomena visual. Analogi itu adalah: Andaikata fenomena-fenomena visual itu hanya kebetulan atau tiba-tiba, bukan konvensional, pasti tidak akan terulang kembali dalam mayoritas. tanpa diperselisihkan.[55]
F. Logika Illuminasi (al-Isyrâqî) al-Syaikh al-Maqtûl al-Syahîd Al-Suhrawardî
Perbedaan mendasar antara metode logika (al-manhaj al-manthiqî) dan metode esoteris (al-manhaj al-dzauqî) adalah bagaimana mendapatkan sebuah pengetahuan yang meyakinkan. Metode logika Aristotelian menggunakan pisau analisis silogisme untuk mendaptkan suatu pengetahuan yang meyakinkan. Sementara metode esoteris mengoptimalkan kemampuan intuisi dan imajinasi esoteris untuk memetik kebenaran yang meyakinkan. Di antara metode esoteris yaitu logika illuminasi yang diproklamirkan oleh Al-Suhrawardî.
Al-Suhrawardî memakai standar ganda dalam mengapresiasi logika Aristotelian. Di satu sisi menyangsikan logika ini dalam mendapatkan kebenaran yang meyakinkan, namun di sisi lain ia menawarkan logika lain yang tak lain merupakan ringkasan dahsyat dari logika Aristotelian itu sendiri. Logika ini bersandar pada spirit shûfî yang dengan percaya diri memproklamirkan bahwa logika ini adalah logika final dan tercepat dalam mendapatkan suatu kebenaran yang meyakinkan. Ia menyebutnya al-Manthiq al-Isyrâqî (Logika Illuminasi)
Logika Illuminasi meniscayakan Qadliyyah al-Batât al-Dlarûrî (Keputusan Pasti Bubutan). Keniscayaan ini diciptakan untuk menangkis prediksi-prediksi yang meleset dari silogisme Aristotelian. Logika Illuminasi ini tidak mengenal Qadliyyah sâlibah. Semua unsur-unsur sâlibah dilebur menjadi satu dalam wadah Qadliyyah mûjabah. Unsur-unsur negatif dan prediksionis (al-qadlâyâ al-mumtani’ah wa al-mumkinah), menurut Al-Suhrawardî, sama sekali tidak mampu menghasilkan pengetahuan yang meyakinkan.
Perhatikan contoh di bawah ini!
زيد ليس هو كاتب……………………Qadliyyah sâlibah secara wajar
زيد هو لا كاتب …………………………….menjadi Qadliyyah mûjibah ma’dûlah menurut Al-Suhrawardî
G. Metode Kritik Ibn Rusyd terhadap Al-Ghazâlî
Sebagai seorang filosof yang mengimani konsep dalil demonstratif dan konsep kepastian kausalitas, Ibnu Rusyd mendedikasikan hidupnya demi filsafat dan berani bertempur untuk itu: ia seorang muslim yang dengan gigih mengkritik metodologi Asy’ariyyah, kelompok dengan pengikut muslim terbanyak di seluruh dunia hingga kini. Ia berargumen bahwa dalil-dalil yang dikemukakan asya’ariyyah lemah, tak konsisten, berotakkan dialektis (jadaliyyah). Sebagai gantinya, Filosof Muslim Andalus terbesar ini tawarkan metodologi ala filosof Aristotelian: demonstrative methodology.
Kritik besar Ibnu Rusyd, sebagaimana paparan Dr. Atif al-Iraky dalam al-manhaj al-naqdî fî falsafah Ibn Rusyd, dapat disederhanakan dalam simpul-simpul berikut: 1) Keimanan Ibnu Rusyd yang mendalam terhadap dalil demonstratif sebagai satu-satunya dalil yang “paling konsisten”, yang “paling-bisa-dipahami-umat” dan yang “paling berkualitas”; 2) Kritiknya terhadap metodologi esoteris khas sufi. Baginya, metodologi yang diimani sufi itu hanya khusus untuk kelompok tertentu, dengan bakat sufiah tertentu. Kita bisa lihat, Ibnu Rusyd menginginkan pondasi-pondasi komprehensif, premis-premis universal yang diterangi lampu rasional, yang dengannya lebih kelihatan bedanya manusia dengan hewan sebagai “hewan yang berpikir” (hayawân nâthiq); 3) Ibnu Rusyd membela eksistensi filsafat dan para filosof, yang karena diserang Al-Ghazali dengan kata-kata kafir, bid’ah dan tudingan lain, menjadi amat memprihatinkan; 4) Peran besar Ibn Rusyd dalam mengkritik metodologi dialektis theologis (al-jadalî al-kalâmî). Lahan kerja para theolog, menurutnya, terlalu sempit bagi seorang filosof, sehingga harus dilewati dan kemudian masuk gerbang demonstratif yang lebih luas. Seorang filosof, seperti Al-Ghazali, tak etis cukup berhenti di daerah awal itu, karena lahan garapan filosof harusnya lebih luas ketimbang theolog punya.[56]
Ibn Rusydi kerap kali mengkritik kelompok-kelompok lain yang bersebrangan dengan ide demonstratifnya. Ia dengan tanpa segan mengkritik kelompok Asy’ariyah, Shufiyyah, dan Muktazilah—meskipun tak harus menolak semua pendapatnya. Kritikannya buat Asy’ariyah itu secara tidak langsung juga kritikan buat Al-Ghazali. Karena kita tahu, bagaimanapun juga, ia seorang Asy’ari. Jadi, apa yang diyakini kelompok Asya’irah, secara tidak langsung juga keyakinan Al-Ghazali.
Dalam subjudul ini, hanya akan dibatasi pada tiga pokok permasalahan yang dijadikan bukti oleh al-Ghazâlî untuk mengkafirkan para filosof secara masif.
I. Azaliyyah al-‘Âlam
Kelompok Asya’irah – yang Al-Ghazali yakini – mengajukan dua dalil untuk membuktikan keberadaan Allah: 1) dalil al-hudûts 2) dalil al-mumkin wa al-wâjib. Kelompok ini yakin bahwa alam itu baru (hadits) dengan dasar bahwa alam terdiri dari partikel-partikel yang pada akhirnya tidak dapat terbagi lagi (jawâhir fardah: atom). Dengan adanya batas ini (tidak dapat dibagi lagi), maka atom adalah baru. Karena itu alam – yang komposisinya adalah atom – adalah baru juga. Kalau alam ini baru, maka harus ada sang Pencipta baru: Allah. Kita lihat, inti pendapat mereka ini berdasar pada keyakinan bahwa atom punya batas: ia suatu ketika juga tak mampu lagi terbagi.
Alam – dengan seluruh komposisi dan apa yang ada di dalamnya: langit, bumi, tumbuhan, hewan, manusia dan semuanya – bila demikian, merupakan ciptaan baru yang bersumber dari Sang Awal, setelah sebelumnya bukan apa-apa: bukan dzat, bukan atom, bukan sifat.
Dalilnya adalah bahwa seluruh alam ini bisa berubah-ubah sifat, kadang begini dan kadang begitu. Ini berarti, dari tarik ulur sifat-sifat yang saling bertentangan itu, ada yang “batal” dan ada yang “terjadi”. Yang terjadi, tentunya ia baru secara pasti bahkan empirik, sehingga tak perlu lagi ada pembuktian (istidlâl). Adapun yang batal, maka dengan batalnya itu menunjukkan kalau ia “baru” (hadits), bukan “lama” (qadim). Karena yang lama tak bisa batal. Dengan tetapnya bukti bahwa sifat-sifat alam itu baru, menunjukkan bahwa ia diciptakan. Otomatis, alam itu juga diciptakan, karena sifat dan mausuf tidak bisa dipisahkan.[57]
Di antara ayat Quran yang menurut mereka menjustifikasi dalil “baru” di atas adalah sebagai berikut:
{ان فى خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهاروالفلك التى تجرى فى البحر بما ينفع الناس وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها وبث فيها من كل دابة وتصريف الرياح والسحاب المسخر بين السماء والأرض لأيات لقوم يعقلون}البقرة: 163
ال عمران: 190{ ان فى خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لأيات لأولي الألباب}
Ibn Rusyd meskipun meyakini keberadaan Allah, namun di sisi lain mengkritik dalil hudûts yang digunakan Al-Ghazâlî untuk mengkafirkan para filosof. Kritikan ini berdasar pada keyakinan yang mendalam adanya hukum kausalitas (sabab-musabbab).
Para Mutakallimîn meyakini bahwa:
Alam adalah berubah
Setiap yang berubah adalah hâdits
Jadi, alam adalah hâdits
Qiyâs semacam ini berasal dari qiyâs lain sebagai berikut:
1) Jauhar tidak bisa terbebas dari ‘ardl
2) ‘Ardl adalah hadits
3) Jadi, apa saja yang tidak bisa lepas dari yang hadits adalah hadits
Ibn Rusyd mengkritik bahwa jika dikatakan bahwa alam itu muhdits, maka harus ada pelaku yang muhdits pula. Dan preposisi ini meragukan. Karena kita tidak mampu membuat muhdits menjadi azalî, tidak pula muhdits. Muhdits bisa disebut muhdits karena ia membutuhkan muhdits lain. Muhdits ini membutuhkan muhdits lain sampai tidak terhingga. Dan perkara semacam itu, secara alami, adalah mustahil.
Ibn Rusyd juga mengkritk qiyâs kedua sebagai berikut:
1) Premis seperti di atas tidak benar, kecuali jika jauhar adalah raga yang mandiri –sebagaimana raga yang diyakini Ibn Rusyd. Adapun bila yang dimaksud dengan jauhar di atas adalah bagian raga saja –sebagaimana dipahami mutakallimîn, maka bagian raga ini tidak bisa dikatakan benar-benar ada secara meyakinkan. Karena bagaimana kita tahu ada Jauhar yang tidak dapat terbagi. Dan ini semua meragukan.
2) Premis kedua –yang ditopang dengan asas ‘ardl adalah hadits juga abstrak dan tidak meyakinkan. Karena tidak mungkin kita mampu menyaksikan partikel-partikel terkecil secara langsung kemudian menghukuminya. Artinya, premis kedua ini dibangun atas dasar menganalogikan alam fisik dengan alam gaib (qiyâs al-syâhid ‘ala al-ghâib).
3) Karena premis pertama dan kedua tidak meyakinkan, maka runtuhlah Kesimpulan dari qiyâs di atas.[58]
Dalil lain yang Asyâirah buat membuktikan keberadaan Allah adalah dalil mumkin-wâjib. Kelompok yang dipeluk oleh mayoritas muslim di seluruh dunia sampai sekarang ini membagi wujud (eksistensi) menjadi dua bagian: mungkin (mumkin) dan pasti (dlarûrî, wâjib). Bagian mungkin adalah tidak mandiri, karena itu butuh subjek. Kalau alam ini adalah mungkin, maka sang Subjek (baca: Pencipta) tentu wajib adalah sifatnya. Ini berarti inti dari pemahaman Asyâ’irah pada dalil di atas adalah dikotomi eksistensi menjadi dua: mungkin dan pasti.
Sekilasmemang tampak begitu tepat dan sederhana dalil “mungkin-pasti” ala Asyâ’irah ini. Tapi, jangan heran, Ibnu Rusydi, lagi-lagi, tidak sepakat: ia ungkap dua premis yang membentuk dalil di atas, kemudian ia robohkan satu per satu untuk kemudian ia bangun dalil baru yang lebih demonstratif-rasionalis.
Menurut Ibnu Rusydi, dalil “mungkin-pasti” ala Asyâ’irah yang lalu dibangun di atas dua premis:
1) Bahwa alam seisinya – yang bekerja menurut sistem tertentu — bisa saja “sumbang”: bekerja tak sesuai sistem alam. Kita, jika memang demikian, dengan mudah bisa berfantasi: api bisa “terbang” ke bawah, meskipun partikelnya ringan; batu mungkin “jatuh” ke atas, walaupun terbuat dari tanah yang berat partikelnya.
Ibnu Rusydi merobohkan premis di atas dengan menyatakan bahwa premis di atas tidak meyakinkan, karena dibangun di atas nalar khithâbiyyah, bukan demonstratif (burhâniyyah). Bila mengamati alam sekitar, kita akan tahu kebohongan itu: ternyata di sana ada sistem “tetap-terpelihara” (al-‘inâyah wa al-ghâiyyah) dan koneksi antara satu eksistensi dengan eksistensi lain. Realitas ini, tentunya, menyalahi “fantasi” Asyâirah bahwa alam bisa juga “sumbang”, karena toh hanya berstatus mungkin, tidak pasti.
2) Sesuatu yang mungkin adalah baru, dan ia punya subjek: sang “konseptor” yang memilihnya dari kemungkinan lain. Ibnu Rusydi tidak menyetujui premis ini. Ia kritik bahwa premis semacam ini meragukan, tak mencerminkan keyakinan dan tak jelas. Karena tidak ada bukti pasti, bagi Asyâ’irah, akan kemungkinan adanya kehendak baru (irâdah hâditsah) dalam wujud lama (maujûd qadîm). Pendapat itu bisa muncul karena mereka percaya pada konsep “apa-yang-selalu-berubah-adalah baru”, tanpa kritisisme.
II. Ilmu Allah tidak Menjangkau Juziyyât
Dalam hal ini, Ibnu Rusydi memiliki persamaan dan perbedaan dengan Asyâ’irah secara umum dan dengan Al-Ghazali secara khusus. Persamaan, karena kedua belah pihak sama-sama mengakui adanya sifat ‘ilm bagi Allah. Perbedaan, karena metode penetapan sifat ‘ilm bagi Allah yang diterapkan Ibnu Rusydi berbeda dengan apa yang diterapkan oleh Al-Ghazali bahkan Asyâirah. Sebagaimana sudah sering disinggung di atas, Ibnu Rusydi tak mengakui metode selain metode demonstratif. Dengan alasan, metode-metode lain: metode khithâbiyyah, metode shufiyyah; tidak mencerminkan keyakinan yang bisa diterima seluruh kalangan. Metode itu hanya berlaku pada ruang-waktu tertentu dan bagi kelompok tertentu. Ibnu Rusydi, seperti pula dengan yang lalu, memaparkan dalil yang dikemukakan Al-Ghazali, ia robohkan sendiri, kemudian ia bangun metode baru yang lebih demonstratif
Al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui juziyyât, seperti Al-Fârâbî dan Ibn Sînâ. Ia mengatakan bahwa para filosof sepakat bahwa Tuhan hanya mengetahui dirinya sendiri. Tuhan mengetahui segala sesuatu secara universal, bukan secara partikular. Karenanya, ilmu Tuhan terletak di luar perubahan zaman dan perbedaan tempat. Padahal tak ada aktivitas satu biji atom pun, baik itu di langit dan di bumi, yang luput dari “intaian” ilmu Tuhan.[59]
Ibnu Rusydi mengkritik pendapat ini dan menjelaskan bahwa apa yang dipahami Al-Ghazali tidak seperti apa yang dipahamai para filosof. Kalau ilmu manusia terpengaruh dengan ada tidaknya eksistensi-eksistensi, maka sebaliknya, ilmu Allah tidak terpengaruh dengan hal itu. Ilmu Allah tidak bisa diukur dengan ilmu manusia. Jika Allah mengetahui juziyyât maka pengetahuan itu tentunya bersifat potensi (al-quwwah), sebagai respon antisipatif atas juziyyât yang jumlahnya tak terbatas. Padahal ilmu Allah tidak bisa disifati secara potensial atau kinetik (bi al-fi’l).
Dalilnya adalah bahwa Allah merupakan adalah sebab segala sesuatu ada (Dia sebagai‘illah), dan segala sesuatu itu ada disebabkan oleh Dia (makhluk sebagai ma’lûl) Karena jadi sebab, Allah tak mungkin terpengaruh dengan ciptaan-Nya sendiri. Karena itu ilmu Allah tak ada kaitannya dengan partikularitas, bahkan universalitas. Karena dua terma itu hanya berlaku bagi manusia, dan dianalogikan untuk manusia semata. Sehingga ilmu Allah tak mengenal partikularitas bahkan universalitas ala manusia. Intinya, ilmu Allah harus benar-benar dibedakan dengan ilmu manusia. Dan ini adalah teologi tertinggi (ghâyah al-tanzîh) akan eksistensi ilmu Allah, yang dengannya Dia jadi sang Maha Beda.[60]
III. Tidak ada Kebangkitan Jasad setelah Mati
Al-Ghazâlî mengkafirkan para filosof yang tidak mempercayai kebangkitan jasad setelah mati. Keyakinan Al-Ghazali ini lekat sekali dengan background dia sebagai seorang asy’ari tulen. Keyakinan Asyâ’irah dibangun berdasarkan interpretasi konvensional atas teks-teks Qur`an dan Hadits yang menggambarkan hal-ihwal kebangkitan jasad dari kubur seperti halnya orang bangun dari tidur.
Ibn Rusyd mentakwil bahwa yang dimaksud dengan kebangkitan jasad dari kubur dalam teks Qur`an dan Hadits hanyalah kebangkitan ruh saja. Karena tidak mungkin jasad yang sudah hancur dapat kembali utuh lagi setelah dikoyak, dicerai-beraikan dan diurai oleh cacing dan bakteri pengurai.
H. Penutup
Makalah ini hanya segelintir usaha untuk menghidupkan kembali ingatan kita akan logika-logika dan ide-ide genial Al-Ghazali yang menuai banyak pro dan kontra hingga abad millennium dan abad saling kritik ini.
Endnotes:
[1] (450-505 H/1058-1111 M)
[2] Terjadi silang pendapat mengenai status ilmu logika terhadap ilmu filsafat. Hal ini terjadi karena Aristoteles, sebagai the Founding Father of Logic, tidak menyebut secara tegas status ilmu ini. Setidaknya ada 7 kelompok dalam masalah ini: 1) Logika hanya sebagai prolog untuk filsafat, bukan bagian darinya; 2) Logika adalah bagian dari filsafat; 3) Logika adalah prolog untuk filsafat sekaligus bagian darinya; 4) Logika adalah bagian ketiga di luar dua bagian filsafat yang lain: bagian teori dan bagian praksis (al-juz` al-nadharî wa al-juz` al-‘amalî); 5) Logika adalah bagian dari ilmu teori; 6) Logika hanya sebagai alat untuk filsafat; 7) Logika adalah bagian dari filsafat sekaligus alat untuknya. Yang paling masyhur di kalangan komentator filsafat paripatetik (=Aristotelianisme) adalah pendapat ketiga. Disarikan dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, Manâhij al-Bahts ‘ind Mufakkiri al-Islâm wa Iktisyâf al-Manhaj al-‘Ilmî fî al-‘Âlam al-Islâmi, Kairo: Dar Al-Salam, cet. I, 2008, h. 22-25.
[3] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid., h. 9.
[4] Al-Syahrostani, Al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar Ibn Hazm, cet. I, 2005, h. 33. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, h. 9-10.
[5] Al-Suyûthî, Shoun al-Manthiq wa al-Kalâm ‘an Fannai al-Mantiq wa al-Kalâm. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 10.
[6] Al-Syirôzî, Al-Asfâr al-Arba’ah. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, hal. 10.
[7] Ayahnya, ‘Abdullah al-Muqaffa’, sekretaris Abi Ja’far Al-Manshur (136-157 H/753-775 M), seringkali dianggap sebagai penerjemah awal tiga kitab manthiq Aristoteles: قاطيغورياس, بارى ارمنياس , serta انالوطيقا الاولى dan ايساغوجى. Namun, Craus berstatemen bahwa sang penerjemah adalah anaknya, Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqaffa’. Sementara Dr. ‘Alî Sâmî al-Nasysyâr berpendapat bahwa Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqaffa’ hanya meringkas terjemahan kitab-kitab manthiq Aristoteles tersebut–bukan menerjemah—kemudian terjemahan aslinya hilang. Sehingga Muhammad ibn ‘Abdullah al-Muqaffa’ dianggap telah menerjemahkannya, bukan meringkasnya. Lihat Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, hal. 11-12.
[8] Wafat antara 321-329 H. Ibn Abi Ushoiba’ah menyebut bahwa ia wafat di Baghdad pada 11 Ramadlan 328 H/Juni 940 M. Lihat footnote Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid, hal. 13.
[9] John Sellars dalam Stoicism, dinukil dari: www.wikipedia.com index stoicism.
[10]  Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 27.
[11] Ibid, h. 27.
[12] Ibid., h. 22, dengan menukil pendapatnya al-Ustâdz al-Syaikh Musthafâ ‘Abd al-Râziq dalam al-Tamhîd li al-Falsafah al-Islâmiyyah.
[13] Al-Fârâbî, al-Jam’ bain al-Hakîmain, tahq: Dr. ‘Alî bû Malham, Beirut: Dâr wa Maktabah al-Hilâl, cet. I, 1996, h. 29. Lihat juga Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, ibid., h. 23.
[14] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 24, dengan menukil statemen al-Fârâbî dalam al-Tanbîh ‘alâ Sabîl al-Sa’âdah.
[15] Ibid., h. 25.
* Nomenklatur ini menurut al-Bânayawî البانيوى. Dinukil dari Dr.’Alî Sâmî Nasysyâr, ibid., h. 25.
[16] Safsathah (Shopisme) adalah logika atas dasar error dan trik-trik tipuan dengan tujuan untuk memutar-balik fakta.
[17] Muqaddimah Ibn Kholdûn. Dinukil dari Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, op. cit., h. 25.
[18] Lihat Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, ibid., h. 25
[19] Master Piecenya Aristoteles dalam ilmu logika.
[20] Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, op. cit., h. 26.
[21] Bedakan antara Qiyâs Ushûlî dan Qiyâs Falsafî!!
[22] Dr. ‘Alî Sâmi al-Nasysyâr, op. cit., h. 26.
[23] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 27.
[24] Ibn Sînâ, al-Syifâ`: al-Manthiq, Kairo: Wizârah al-Ma’arif, al-‘Umûmiyyah, tashdir: Dr. Taha Husein Bâsyâ, murâja’ah: Dr. Ibrahim Madkûr, tahqiq: al-Ab Qanwâtî, Mahmûd al-Khudlairî, Fuâd al-Ihwani, h. 17.
[25] Ibid., h. 17-21.
[26] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 139.
[27] Al-Ghazâlî , al-Mustashfâ, tahq: Dr. Hamzah ibn Zuhair Hâfidh, h. 30.
[28] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 133.
[29] Ibid., h. 133-134.
[30] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, tahq: Dr. Sulaimân Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1961, h. 12 & 31-32.
[31] Ibid., h. 35-36. Disarikan oleh Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 134.
[32] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit., h. 134
[33] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, tahq: Dr. Sulaimân Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, h. 75-77.
[34] Dr. ‘Alî Sâmî Nasysyâr, op. cit, h. 134.
[35] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 10.
[36] Ibid., h. 11.
[37] Dr. Atif al-Iraky, al-Manhaj al-Naqdî fî falsafah Ibn Rusyd, Kairo: Dar al-Ma’arif, 1995, cet. III, h. 25.
[38] Nomenklatur “Tahâfut al-Falâsifah” sebenarnya pernah al-Ghazâlî singgung dalam Maqâshid al-Falâsifah, bahkan sebelum mengarang kitabnya yang terkenal, Tahâfut al-Falâsifah. Lihat al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op.cit., h. 31, 32, 17 & 385.
[39] Tanda petik (“…”) pada “Muqaddimah” Tahâfut al-Falâsifah berfaedah sebagai penjelas bahwa fungsi kitab Maqâshid al-Falâsifah seolah-olah seperti Muqaddimah (=prolog) atas kitab Tahâfut al-Falâsifah, bukan Muqaddimah secara hakiki. Karena itu, tanda petik tidak dipakai pada nomenklatur berikutnya, Manthiq Tahâfut al-Falâsifah, karena manthiq ini sejatinya merupakan bagian ketiga dari kitab Tahâfut al-Falâsifah, yang pada periode belakangan dicetak tanpa bagian ketiga tersebut. Bagian ketiga ini kemudian masyhur dengan sebutan miyâr al-‘ilm. Lihat Al-Ghazâlî , Tahâfut al-Falâsifah, tahq: Dr. Sulaimân Dunyâ, Kairo: Dar al-Ma’arif, cet. III, 1957, h. 84-85, pada Muqaddimah Râbi’ah. Bandingkan dengan Al-Ghazâlî, Mi’yâr al-‘ilm, op.cit., h. 14-19 dan footnote h. 191; serta al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 17.
[40] Lihat al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 3. Bandingkan dengan al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, ibid., h. 3.
[41] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, ibid., h. 31. Lihat juga al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, ibid., h. 17.
[42] Lihat h. 4.
[43] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 23.
[44] Ibid., h. 20 & 31.
[45] Ibid., h. 23.
[46] Al-Ghazâlî, Majmû’ah rasâil al-Imâm al-Ghazâlî , takhrij: Ahmad Syams al-Dîn, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Âmmah, cet. I, 1988, h. 49. Lihat juga Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 21-22.
[47] Al-Ghazâlî , Maqâshid al-Falâsifah, op. cit., h. 24.
[48] Ibid., h. 24.
[49] Al-Ghazâlî, Mi’yâr al-‘Ilm, op. cit., h. 10-11.
[50] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h. 8-12.
[51] Dr. Atif al-Iraky, op. cit., h. 40. Bandingkan juga al-Ghazâlî, ibid., h. 12.
[52] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h. 13-15 & 126-127.
[53] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, op. cit., h. 36-38.
[54] Muhammad Bâqir al-Shadr, al-Usas al-Manthiqiyyah li al-Istiqrâ`, Beirut: Dar al-Ta’âruf li al-Mathbû’ât, 1986, cet. V, h. 13-14.
[55] Al-Ghazâlî , Mi’yâr al-‘ilm, op. cit., h. 42.
[56] Dr. Atif al-Iraky, op. cit., h. 13.
[57] Ibid., h. 40-41 dengan menukil karya al-Asfarayaini, Al-Tabshîr fî al-Dîn, h. 135.
[58] Ibid., h. 39-44.
[59] Al-Ghazâlî, Tahâfut al-Falâsifah, op. cit., h. 206.
[60] Dr. Atif al-Iraky, al-Manhaj al-Naqdî fî falsafah Ibn Rusyd, op. cit., h. 64-70.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar