Jumat, 24 Mei 2013

FIQIH MASHLAHAH

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari tentu sering kita mendapatkan manfaat dari hal yang kita lakukan atau kerjakan. Namun, kita belum tentu mengetahui apa yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan. Selain itu, banyak pula dari kita semua yang belum mengetahui apa saja macam-macam dari mashlahah. Oleh karena itu, makalah ini akan sedikit membahas mengenai mashlahah, sehingga para pembaca bisa mengetahui tentang mashlahah.
1.2    Tujuan Pembuatan Makalah
Adapun pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah Ushul Fiqh. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menjadi bahan pembelajaran khususnya mengenai Mashlahah. Dan diharapkan dari makalah ini baik penyusun maupun pembaca dapat mengetahui dan memahami Mashlahah.
BAB II
MASHLAHAH
2.1 Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara terminologi, menurut Imam al-Ghazali, bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’.”
Imam al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering didasarkan keapada kehendak hawa nafsu. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang harus dipelihara tersebut, lanjut Imam al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujua syara’ diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’ tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syathibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun akhirat, karena apabila keduanya bertujuan untuk memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep mashlahah. Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
2.2    Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.         Mashlahah al-Dharûriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal,(4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashâlih al-khamsah.
2.         Mashlahah al-Hâjiyah (المصلحة الحاجية), yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.
3.         Mashlahah  al-Tahsîniyyah (المصلحة التحسينية), yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dharûriyyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hâjiyyah, dan kemaslahatan hâjiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsîniyyah.
Dilihat dari segi kandungan mashlahah para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.         Mashlahah al-‘Ammah (المصلحة العامة), yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat.
2.         Mashlahah al-Khâshshah (المصلحة الخاصة), yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfûd).
Dilihat dari segi berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushtafa al-Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.         Mashlahah al-Tsâbitah (المصلحة الثابتة), yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat dan haji.
2.         Mashlahah al-Mutaghayyirah (المصلحة المتغيرة), yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perbuatan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Perlunya pembagian ini, menurut Mushthafa al-Syalabi, di makasudkaan untuk memberikan batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
Dilihat dari segi keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.         Mashlahah al-Mu’tabarah (الصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras dalm hadits Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh, disebabkan perbedaan alat pemukul yang meminum minuman keras. Ada hadits yang menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan adakalanya dengan pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
2.         Mashlahah al-Mulghâh (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’ menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
3.         Mashlahah al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: (1) mashlahah al-gharîbah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun sacara umum. Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik, sekalipun ada dalam teoti. (2) mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
2.3    Kehujjahan Mashlahah
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam metode qiyâs. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulghâh dan mashlahah al-gharîbah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum Islam, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap kehujjahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil maslahah tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu hukum.
Meghilangkan kemudaratan, bagaimana pun merupakan tujuan syaara’ yang wajib dilakukan. Menolak kemudaratan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan demikian, ulama Hanafiyyah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat yang  didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya. Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.         Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2.         Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.         Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.
Ulama golongan Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan mashlahahsebagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyâs. Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya memabahas permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.         Mashlahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2.         Mashlahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3.         Mashlahah itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hâjjiyah, apabila menyangut kepentingan orang banyak bisa menjadi dharûriyyah.
Dengan demikian, Jumhur Ulama sebenarnya menerima mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode mengistinbathkan hukum Islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.        Hasil induksi terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
2.        Kemaslahatan manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja, akan membawa kesulitan.
3.        Jumhur Ulama juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti, Abu Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah satu kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar