BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Di dalam kehidupan sehari-hari tentu sering kita mendapatkan manfaat dari
hal yang kita lakukan atau kerjakan. Namun, kita belum tentu mengetahui apa
yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan. Selain itu, banyak pula
dari kita semua yang belum mengetahui apa saja macam-macam dari mashlahah. Oleh
karena itu, makalah ini akan sedikit membahas mengenai mashlahah, sehingga para
pembaca bisa mengetahui tentang mashlahah.
1.2
Tujuan
Pembuatan Makalah
Adapun pembuatan makalah ini adalah sebagai tugas kuliah Ushul Fiqh.
Selain itu, makalah ini bertujuan untuk menjadi bahan pembelajaran khususnya mengenai
Mashlahah. Dan diharapkan dari makalah ini baik penyusun maupun pembaca dapat
mengetahui dan memahami Mashlahah.
BAB II
MASHLAHAH
2.1
Pengertian Mashlahah
Secara etimologi, mashlahah
sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna. Mashlahah juga berarti
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Sedangkan secara
terminologi, menurut Imam al-Ghazali, bahwa pada prinsipnya mashlahah
adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’.”
Imam al-Ghazali
memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’,
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kehendak syara’, tetapi sering didasarkan
keapada kehendak hawa nafsu. Oleh sebab itu, menurut Imam al-Ghazali, yang
dijadikan patokan dalam menentukan kemaslahatan itu adalah kehendak dan tujuan
syara’, bukan kehendak dan tujuan manusia.
Tujuan syara’ yang
harus dipelihara tersebut, lanjut Imam al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu:
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Apabila seseorang melakukan
suatu perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujua syara’
diatas, maka dinamakan mashlahah. Disamping itu, upaya untuk menolak
segala bentuk kemudaratan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut, juga dinamakan mashlahah. Dalam kaitan dengan ini, Imam
al-Syathibi, mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut tidak dibedakan antara
kemaslahatan dunia maupun akhirat, karena apabila keduanya bertujuan untuk
memelihara kelima tujuan syara’ diatas termasuk kedalam konsep mashlahah.
Dengan demikian, menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang
hamba Allah harus bertujuan untuk kemaslahatan di akhirat.
2.2 Macam-macam Mashlahah
Para ahli ushul fiqh
mengemukakan beberapa pembagian mashlahah jika dilihat dari beberapa segi.
Dilihat dari segi
kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, dibagi menjadi tiga macam yaitu:
1.
Mashlahah
al-Dharûriyyah (المصلحة الضرورية), yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat.
Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1) memelihara agama, (2) memelihara
jiwa, (3) memelihara akal,(4) memelihara keturunan, dan (5) memelihara harta.
Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashâlih al-khamsah.
2.
Mashlahah al-Hâjiyah
(المصلحة الحاجية),
yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok
(mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia.
3.
Mashlahah al-Tahsîniyyah (المصلحة التحسينية),
yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya.
Ketiga kemaslahatan ini
perlu dibedakan, sehingga seorang Muslim dapat menentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan. Kemaslahatan dharûriyyah harus lebih
didahulukan daripada kemaslahatan hâjiyyah, dan kemaslahatan hâjiyyah
lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsîniyyah.
Dilihat dari segi
kandungan mashlahah para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
1.
Mashlahah
al-‘Ammah (المصلحة العامة), yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut
kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan
umat.
2.
Mashlahah
al-Khâshshah (المصلحة الخاصة), yaitu kemaslahatan pribadi dan ini
sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan
hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfûd).
Dilihat dari segi
berubah atau tidaknya mashlahah, menurut Muhammad Mushtafa al-Syalabi,
guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu:
1.
Mashlahah
al-Tsâbitah (المصلحة الثابتة), yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap,
tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti
shalat, puasa, zakat dan haji.
2.
Mashlahah
al-Mutaghayyirah (المصلحة المتغيرة), yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah
sesuai dengan perbuatan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti
ini berkaitan dengan permasalahan mu’amalah dan adat kebiasaan. Perlunya
pembagian ini, menurut Mushthafa al-Syalabi, di makasudkaan untuk memberikan
batasan kemaslahatan mana yang bisa berubah dan yang tidak.
Dilihat dari segi
keberadaan mashlahah menurut syara’ terbagi kepada:
1.
Mashlahah
al-Mu’tabarah (الصلحة المعتبرة), yaitu kemaslahatan yang didukung oleh
syara’. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis
kemaslahatan tersebut. Misalnya, hukuman atas orang yang meminum minuman keras
dalm hadits Rasulullah saw. dipahami secara berlainan oleh para ulama fiqh,
disebabkan perbedaan alat pemukul yang meminum minuman keras. Ada hadits yang
menunjukkan bahwa alat yang digunakan Rasul saw. adalah sandal/alas kakinya
sebanyak 40 kali (H.R. Ahmad ibn Hanbal dan al-Baihaqi) dan adakalanya dengan
pelepah pohon kurma juga sebanyak 40 kali (H.R. al-Bukhari dan Muslim).
2.
Mashlahah
al-Mulghâh (المصلحة الملغاة), yaitu kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’
menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari di bulan
Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberi makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari dan
Muslim).
3.
Mashlahah
al-Mursalah (المصلحة المرسلة), yaitu kemaslahatan yang keberadaannya
tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’ melalui dalil
yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua, yaitu: (1) mashlahah
al-gharîbah, yaitu kemaslahatan yang asing, atau kemaslahatan yang sama
sekali tidak ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun sacara umum.
Para ulama ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam
al-Syathibi mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktik,
sekalipun ada dalam teoti. (2) mashlahah al-mursalah, yaitu kemaslahatan
yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, tetapi didukung
oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadits).
2.3
Kehujjahan
Mashlahah
Para ulama ushul fiqh
sepakat menyatakan bahwa mashlahah al-mu’tabarah dapat dijadikan sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Kemaslahatan seperti ini termasuk dalam
metode qiyâs. Mereka juga sepakat bahwa mashlahah al-mulghâh dan
mashlahah al-gharîbah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan
hukum Islam, karena tidak ditemukan dalam praktik syara’. Adapun terhadap
kehujjahan mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama menerimanya
sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara’, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat.
Ulama Hanafiyyah
mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil maslahah
tersebut berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma’ yang
menunjukkan bahwa sifat yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat
(motivasi hukum) dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi
motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi suatu
hukum.
Meghilangkan
kemudaratan, bagaimana pun merupakan tujuan syaara’ yang wajib dilakukan. Menolak
kemudaratan itu termasuk kedalam konsep mashlahah al-mursalah. Dengan
demikian, ulama Hanafiyyah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum; dengan syarat sifat kemaslahatan itu terdapat dalam
nash atau ijma’ dan jenis sifat kemaslahatan itu sama dengan jenis sifat
yang didukung oleh nash atau ijma’.
Ulama Malikiyyah dan
Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum,
bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling banyak dan luas menerapkannya.
Bahkan Imam Syathibi mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah
al-mursalah itu bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa
bersifat zhanni (relatif).
Untuk bisa menjadikan
mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum, ulama Malikiyyah
dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu:
1.
Kemaslahatan itu
sejalan dengan kehendak syara’ dan termasuk dalam jenis kemaslahatan yang
didukung nash secara umum.
2.
Kemaslahatan itu
bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang
ditetapkan melalui mashlahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan
manfaat dan menghindari atau menolak kemudaratan.
3.
Kemaslahatan itu
menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok
kecil tertentu.
Ulama golongan
Syafi’iyyah, pada dasarnya juga menjadikan mashlahahsebagai salah satu dalil
syara’. Akan tetapi, Imam al-Syafi’i, memasukkannya ke dalam qiyâs. Al-Ghazali,
bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya memabahas permasalahan mashlahah
al-mursalah. Ada beberapaa syarat yang dikemukakan al-Ghazali terhadap
kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam mengistinbatkan hukum, yaitu:
1.
Mashlahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syara’.
2.
Mashlahah
itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syara’.
3.
Mashlahah
itu termasuk ke dalam kategori mashlahah yang dharûrî, baik
menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan universal,
yaitu berlaku sama untuk semua orang.
Untuk yang terakhir ini
al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hâjjiyah, apabila menyangut
kepentingan orang banyak bisa menjadi dharûriyyah.
Dengan demikian, Jumhur
Ulama sebenarnya menerima mashlahah al-mursalah sebagai salah satu metode
mengistinbathkan hukum Islam. Alasan Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah
dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, antara lain adalah:
1.
Hasil induksi
terhadap ayat atau hadits menunjukkan bahwa setiap hukum mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam hubungan ini, Allah berfirman:
وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَارَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad),
kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.
(Q.S. al-Anbiyâ’, 21: 107)
Menurut Jumhur Ulama, Rasulullah itu
tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka memenuhi kemaslahatan umat
manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, di
dunia dan di akhirat. Oleh sebab itu, memberlakukan mashlahah terhadap
hukum-hukum lain yang juga mengandung kemaslahatan adalah legal.
2.
Kemaslahatan
manusia akan senantiasa dipengaruhi perkembangan tempat, zaman, dan lingkungan
mereka sendiri. Apabila syari’at Islam terbatas pada hukum-hukum yang ada saja,
akan membawa kesulitan.
3.
Jumhur Ulama
juga beralasan dengan merujuk kepada beberapa perbuatan sahabat, seperti, Abu
Bakar mengumpulkan Al-Qur’an atas saran Umar ibn Khathab, sebagai salah satu
kemaslahatan untuk melestarikan Al-Qur’an dan menuliskan Al-Qur’an pada satu
logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara agar tidak terjadi
perbedaan bacaan Al-Qur’an itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar